TRIBUNNEWS.COM - Aksi teror bom yang terjadi di Medan, mendapat banyak perhatian dari berbagai macam pihak.
Pengamat Intelijen dan Keamanan UI Stanislaus Riyanta mengatakan fenomena yang dilakukan ISIS lebih menyerang ke simbol - simbol negara sebagai wujud balas dendam.
Rupanya, hal ini sudah diprediksi pasca kematian pimpinan ISIS yang lalu.
"Ini sudah diprediksi. Pasca kematian Abubakar Al Baqdadi, akan memicu aksi balas dendam," tuturnya
Dia kemudian mencontohkan kasus yang dialami Wiranto di Pandeglang.
Menurutnya hal tersebut terjadi karena pihak aliansi ISIS merasa terdesak karena pimpinannya tertangkap di Bekasi.
"Kasus pak wiranto dua orang dia terdesak, karena pimpinannya tertangkap di Bekasi. Mereka lari ke Pandeglang dan melakukan aksi ke pak Wiranto," jelasnya.
Dilansir melalui tayangan YouTube Najwa Shihab, meski pelaku belum terdeteksi apakah merupakan pelaku tunggal atau kelompok, kasus seperti bom di medan merupakan hal yang berbahaya.
"Permasalahannya adalah, kelompok atau tunggal, pelaku melakukan aksi terorisme berbahaya,"
Stanislaus Riyanta mengatakan justru pelaku tunggal lebih berbahaya karena pergerakannya tidak mudah dideteksi.
Aksi teror berbeda dengan mereka yang berkelompok, karena pasti menggunakan jaringan komunikasi.
"Pelaku tunggal lebih berbahaya, karena mereka tidak terdeteksi mrencanakan sendiri, melakukan aksi sendiri, berbeda dengan kelompok, yang melakukan aksi lewat percakapan yang bisa dideteksi atau dipantu," ujarnya.
Melalui pengamatannya, rupanya aksi yang sukses dilakukan adalah aksi sel - sel kecil.
"Aksi yang sukses yang melakukan aksi sel-sel kecil, ada perbedaan model, kelompok besar menjadi keluarga," tuturnya.