"Kecuali korporasi juga didudukan sebagai terdakwa, maka ada legitimasi barang bukti itu disita untuk negara."
"Itupun harus ada klausuldik dikembalikan kepada yang berhak. Mustinya seperti itu."
Abdul Fickar memberikan contoh kasus yang telah terjadi di Makassar, mirip dengan kasus First Travel.
Ia menjelaskan kasus tersebut menggunakan cara dengan membuat bangkrut korporasi yang bermasalah, sehingga dapat dilakukan pembagian secara proporsional.
Namun menurut Abdul Fickar, kasus First Travel ini tidak dapat menggunakan cara tersebut.
Abdul Fickar justru memberikan saran untuk membuat gugatan baru.
Gugatan tersebut masuk ke dalam perkara perdata kepada korporasi dan negara.
Dalam gugatan baru tersebut tuntutannya adalah memberangkatkan umroh para jamaah yang sudah tertipu ke tanah suci atau membagi aset secara proporsional.
"Ada preseden sebenarnya, ini pernah terjadi juga di Makassar. Ada di Makassar seperti ini, mereka pakai mekanisme kepailitan," jelas Abdul Fickar.
"Korporasinya dipailitkan, kemudian dibagi secara proporsional. Saya tidak tahu sudah selesai atau belum."
"Tapi untuk keadilan, saya kira ini tidak bisa lagi dipailitkan gitu. Tapi bisa pakai gugatan perdata kepada korporasi dan kepada negara. Gugatan baru."
"Yang ujungnya adalah nanti tuntutannya kalau tidak berangkatkan umroh kalo ada kemampuan dari korporasi umpamanya bersama negara tapi bisa juga dibagi secara proporsional."
"Berapa setoran-setoran yang sudah disetorkan oleh masyarakat gitu."
Kasus First Travel mulai mencuat ke publik pada tahun 2017 silam.
Biro perjalanan umrah milik pasangan suami istri tersebut diduga melakukan penggelapan dan pencucian uang jamaah yang berjumlah hingga lebih dari Rp 905 miliar.
(Tribunnews.com/Febia Rosada Fitrianum)