TRIBUNNEWS.COM - Baru satu bulan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Maruf Amin dilantik pada 20 Oktober lalu, kini muncul wacana memperpanjang masa jabatan presiden dan wapres lewat amandemen terbatas UUD 1945.
Wakil Ketua MPR Arsul Sani menegaskan, penambahan masa jabatan presiden belum menjadi bahasan di internal MPR.
Namun, dirinya membolehkan pendapat setiap orang yang berwacana tersebut sebab negara ini adalah negara demokrasi.
Menurut Arsul Sani tidak ada larangan adanya wacana tersebut di masyarakat.
"Tapi kalau dari internal MPR sendiri kita belum pernah membahas apalagi meluncurkan wacana itu. Nah, karena ini negara demokrasi ya tentu kan boleh-boleh saja orang menyampaikan diskursus, pendapat bahwa misalnya masa jabatan presiden itu kalau sekarang 2 (dua) kali dianggap belum cukup, mudah-mudahan bisa diperpanjang 3 (tiga) kali, ya itu kan nggak ada yang melarang," Arsul Sani menjelaskan alasannya, melansir kanal Youtube KompasTV, Sabtu (24/11/2019).
Wakil Ketua MPR dari Fraksi PPP tersebut juga menyandingkan pendapat serupa adanya wacana pembatasan presiden selama satu periode.
Pihaknya tidak melarang jika ada wacana publik yang menyuarakan masa jabatan presiden hanya satu periode dengan lama 8 (delapan) tahun menjabat.
"Sama dengan ada pendapat yang lain, bahwa sebaiknya masa jabatan presiden itu dibatasi satu kali masa jabatan saja tetapi delapan tahun, itu kan juga sah-sah saja. Biarkan diskursus-diskursus ini berkembang di ruang publik. Karena kita negara demokrasi," ujar Arsul Sani.
Dirinya mengajak untuk melihat perkembangan argumentasi dari wacana tersebut dengan meninjau dari segi filosofis, yuridis, atau sosiologis.
Ia pun menandaskan agar masyarakat tidak perlu buru-buru dalam menyatakan persetujuan atau penolakan hal ini.
"Yang jelas kita nggak perlu buru-buru menyatakan setuju atau pun tidak setuju lah terhadap itu," tuturnya.
Sementara itu, Partai pengusung Presiden Joko Widodo, PDI Perjuangan (PDIP) menolak wacana memperpanjang masa jabatan presiden menjadi 3 (tiga) periode.
PDIP menilai saat ini, tidak ada urgensinya mengubah masa jabatan presiden dalam rencana amendemen UUD 1945.
Menurut Ketua DPP PDIP, Ahmad Basarah, masa jabatan presiden selama 2 (dua) periode, atau 10 (sepuluh) tahun sudah cukup untuk sebuah pemerintahan.
Bagi Basarah, yang penting adalah pembangunan nasional dapat berkesinambungan antara pemimpin satu dan lainnya.
"Kami memandang tidak ada urgensinya untuk merubah konstitusi kita yang menyangkut tentang masa jabatan presiden. Masa jabatan presiden satu periode atau 5 (lima) tahun kali dua, itu sudah cukup untuk sebuah pemerintahan nasional itu memastikan pembangunan nasional itu berjalan berkesinambungan," tutur Basarah menyampaikan suara.
Lebih lanjut, ia meredam agar masyarakat tak perlu khawatir atas berjalannya pembangunan nasional.
"Apalagi nanti jika sudah ada haluan negara dan haluan pembangunan nasional. Kita tidak perlu lagi khawatir ketika ganti presiden akan ganti visi misi, ganti program. Bangsa Indonesia tidak perlu lagi khawatir tehadap siapapun presiden, gubernur, bupati, walikotanya. Karena pembangunan nasional dipastikan akan berkelanjutan, " pungkasnya.
Pembatasan masa jabatan presiden selama 2 (dua) periode yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar 1945 merupakan hasil amandeman pasca tumbangnya orde baru.
Semangatnya selain mencegah kekuasaan absolut juga menjamin regenerasi kepemimpinan nasional.
Hal yang sama juga disampaikan Sekjen DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto.
Ia mengatakan sikap partainya tidak sependapat apabila ada perpanjangan masa jabatan presiden.
"Sikap PDI Perjuangan adalah amandemen terbatas hanya terkait haluan negara. Mengingat bangsa ini memerlukan direction untuk menuju kepada apa yang kita mimpikan sebagai masyarakat adil dan makmur," ungkap Hasto Kristiyanto menyatakan.
Menurutnya semanagat reformasi dilakukan dengan cara membatasi jabatan presiden sebanyak 2(dua) periode kepemimpinan saja. (*)
(Tribunnews.com/Nidaul 'Urwatul Wutsqa)