TRIBUNNEWS.COM - Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Arya Sinulingga mengatakan, wewenang Basuki Tjahaja Purnama (BTP) atau Ahok sebagai Komisaris Utama Pertamina, sama dengan wewenang komisaris di perusahaan swasta.
Arya menilai wewenang komisaris di perusahaan BUMN dengan perusahaan swasta tetap mengacu pada Undang-undang Perseroan Terbatas (PT), sehingga tidak banyak perbedaan.
"Mirip kok, tidak ada sistem yang jauh berbeda di BUMN, dia tetap mengacu pada Undang-undang PT kok, jadi nggak akan banyak berubah," ujar Arya di Kementerian BUMN, Senin (25/11/2019), dikutip dari YouTube Kompas TV.
Arya menambahkan, tugas para komisaris perusahaan BUMN seperti Ahok nantinya akan mengurangi tugas dari Kementerian BUMN.
Mengingat sebelumnya Kementerian BUMN juga bertugas untuk mengawasi tiap perusahaan BUMN.
"Kita yakin, kami menunjuk orang-orang menjadi komisaris tujuannya juga untuk mengurangi tugas Kementerian," kata dia.
Dirinya berujar, sebelumnya Kementerian BUMN dianggap terlalu banyak terlibat dalam perusahaan, sehingga fungsi pengawasan komisaris tidak bisa berjalan.
"Selama ini kan kita tahu bahwa Kementerian BUMN ini yang terlalu banyak mengintervensi atau banyak masuk ke dalam direksi, sehingga fungsi komisaris menjadi nggak berguna gitu," jelas Arya.
Ia mengatakan, akan memanfaatkan fungsi pengawasan komisaris secara maksimal, sehingga komisaris bisa menjalankan tugasnya dengan baik.
"Kami justru akan memanfaatkan semaksimal mungkin komisaris, karena kementerian ini pekerjaannya tidak sibuk mengawasi, kan sudah diwakili komisaris, udah digaji baik-baik ya kita harus manfaatkan semaksimal mungkin," tambah Arya.
Ditanya mengenai gaji Ahok yang dikabarkan sebesar Rp 3,2 miliar per bulannya, Arya membantah kabar tersebut.
Ia menilai kabar tersebut tidak jelas dari mana sumbernya, sehingga itu tidak benar.
"Itu nggak benar itu, orang menghitung-hitung, saya nggak begitu paham, tapi tentunya bukan seperti itu," ungkapnya.
"Gajinya Rp 3 miliar sebulan itu dari mana itu," lanjut Arya.