TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pelecehan seksual di ruang publik masih menghantui perempuan.
Perlu adanya keterlibatan publik dalam meminimalisir aksi-aksi tak terpuji tersebut.
Baca: Keterangan Ketua RT Terkait Kasus Tukang Cilor Diduga Cabuli Bocah di Cengkareng
Untuk itu, Asisten Deputi Hak Perempuan dan Tindak Pidana Perdagangan Orang Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Destri Handayani meminta masyarakat tidak diam dan membiarkan jika melihat pelecehan seksual terjadi.
"Kita harus bersama-sama membantu, jangan dibiarkan, jangan takut. Kalau sendiri mungkin takut, tapi kalau mengajak orang sekitar kita itu menjadi kuat. Jadi, enggak usah takut," ujar Destri di Hotel Aryaduta Jakarta, Rabu (27/11/2019).
Ia mendorong masyarakat bersikap ketika melihat terjadinya pelecehan seksual di ruang publik.
Jika membiarkan, kata Destri, artinya orang yang melihat mengamini pelecehan seksual.
Lebih lanjut Destri mengatakan, yang perlu dibangun dalam tatanan masyarakat adalah menggugah rasa empati terhadap suatu peristiwa yang menyangkut seseorang.
Dengan begitu, mereka yang mempunyai niatan buruk dapat merasa terancam.
"Jangan kemudian pelecehan seksual di ruang publik dianggap hal biasa. Harus ada tenggang rasa sebagai sesama manusia," katanya.
Di satu sisi, Destri berharap masyarakat bisa saling peduli terhadap nasib dan kenyamanan ketika berada di ruang publik.
Dengan begitu, masyarakat bisa saling mengawasi agar pelecehan seksual di ruang publik tak terjadi.
"Itu yang kita rindukan kembali gerakan kepedulian itu, gerakan kepedulian itu kan masalah mental," katanya.
"Jadi, kalau ada yang menemukan sesegera mungkin amankan pelaku dan diserahkan ke petugas," ucap dia.
Sebelumnya, Koalisi Ruang Publik Aman (KRPA) merilis hasil survei mereka tentang pelecehan seksual di ruang publik.
Survei yang dilakukan pada 25 November sampai 10 Desember 2018 ini melibatkan 62.224 responden, terdiri dari perempuan dan laki-laki yang dipilih secara acak di seluruh provinsi Indonesia.
Hasilnya, sebanyak 46,8 persen responden mengaku pernah mengalami pelecehan seksual di transportasi umum.
"Pelecehan seksual pada transportasi umum angkanya adalah 46,8 persen atau setara hampir sekitar 30.000 orang," kata relawan KRPA, Rastra, di Kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).
Hasil survei juga menunjukkan bahwa pelecehan seksual di transportasi umum paling banyak terjadi di bus, yaitu sebesar 35,80 persen.
Selanjutnya, secara berturut-turut pelecehan seksual banyak terjadi di angkot (29,49 persen), kereta rel listrik atau KRL (18,14 persen), ojek online (4,79 persen), dan ojek konvensional (4,27 persen).
Dari jumlah tersebut, KRPA mencatat bahwa angka pelecehan seksual terhadap perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki.
Ditemukan bahwa 3 dari 5 perempuan dan 1 dari 10 laki-laki pernah mengalami pelecehan di ruang publik.
"Perempuan 13 kali lebih rentan mengalami pelecehan di ruang publik dibanding laki-laki," ujar Rastra.
KRPA juga mengklasifikasikan bentuk pelecehan seksual di ruang publik menjadi 19 jenis.
Baca: Pengakuan Supriyadi Tersangka Begal Payudara: Kesepian Ditinggal Istri yang Bekerja Sebagai TKW
Berikut rincian beserta jumlahnya: Siulan, 5.392, komentar atas tubuh, 3.628, main mata, 3.325, disentuh, 3.200, didekati dengan agresif dan terus menerus, 1.445, komentar seksis, 2.515, komentar rasis, 1.753, diraba atau dicekam, 1.826 komentar seksual secara gamblang, 1.986, digoda dengan klakson, 2.140.
Kemudian digesek dengan alat kelamin, 1.411, diikuti atau dikuntit, 1.215, gestur vulgar, 1.209, suara kecupan, 1.001, dipertontonkan masturbasi publik, 964, diintip, 7, difoto, 11, diperlihatkan kelamin, 35, dihadang, 623.
Penulis: Achmad Nasrudin Yahya
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Publik Diminta Tak Diam jika Lihat Pelecehan Seksual