Pelanggaran yang dimaksud adalah soal penyebutan kata khilafah di dalamnya.
"Dipersoalkan oleh Menteri Dalam Negeri yang baru, lah ini dulu kan belum ada (penyelesaian), kenapa ini rekomendasinya keluar? Karena dia ada masalah dengan AD/ART," jelasnya.
Mahfud MD menyebut pihak FPI yang menulis AD/ART tersebut sudah minta maaf dan menyebutnya sebagai kekhilafan yang membuat salah prosedur.
"Lalu sesudah itu dipanggil yang buat, dirjennya, mengatakan 'Khilaf', 'Kami membuat surat ini minta maaf karena salah prosedur, kami khilaf'," terang Mahfud MD.
Setelah permintaan maaf itu, Mahfud MD menyebut persoalan AD/ART seolah dianggap tidak ada hingga Fachrul Razi malah memberi rekomendasi.
"Ini satu ya, lalu dikembalikan kan, dianggap tidak ada," kata Mahfud MD.
"Akhirnya apa, Menteri Agama yang baru membuat rekomendasi baru, Pak Fachrul Razi."
Fachrul Razi beralasan rekomendasinya ia keluarkan karena FPI disebut sudah membuat surat pernyataan untuk setia kepada Pancasila.
"Bahwa katanya sudah diberi rekomendasi, karena apa, karena sudah membuat surat pernyataan akan setia kepada Pancasila, tidak melanggar hukum, setia pada konstitusi, dan sebagainya itu," tuturnya.
Mahfud MD pun mengundang beberapa pihak terkait untuk berdiskusi dan menjelaskan bahwa surat bermaterai bukanlah pengganti AD/ART.
Hal ini disebabkan surat pernyataan bermaterai bukanlah produk yang ditunjukkan ke masyarakat seperti AD/ART.
"Masalah yang melekat pada FPI itu adalah AD/ART-nya, oleh sebab itu yang jadi masalah bukan AD/ART, tidak bisa isi AD/ART itu diganti dengan surat pernyataan bermaterai," jelasnya.
"Karena surat pernyataan bermaterai itu tidak diumumkan ke publik."
Menurut Mahfud MD, pihak FPI harus membuat AD/ART yang baru dengan bantuan notaris agar tak menimbulkan permasalahan.