News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Revisi UU KPK

Saldi Isra Pertanyakan Legal Standing Agus Rahardjo Cs dalam Uji Formil UU Baru KPK di MK

Penulis: Gita Irawan
Editor: Adi Suhendi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Tiga Hakim Mahkamah Konstitusi menghadiri sidang pendahuluan uji permohonan formil Undang-Undang baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) baru atau Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 di ruang sidang lantai 4 Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta Pusat pada Senin (9/12/2019).

Ketiga mereka meminta Mahkamah menyatakan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, mengalami cacat formil dan cacat prosedural sehingga aturan dimaksud tidak dapat diberlakukan dan batal demi hukum.

"Keempat, memerintahkan amar putusan Majelis Mahkamah Konstitusi untuk dimuat dalam berita negara atau majelis hakim Mahkamah Konstitusi mempunyai pendapat lain, kami memohon putusan yang seadil-adilnya, ex aequo et bono," kata Feri.

Baca: Budi Arie Setiadi Kembali Terpilih Menjadi Ketua Umum Projo

Dalam permohonannya, Feri menjelaskan bahwa para pemohon merupakan para tokoh yang bergelut dalam bidang sosial kemasyarakatan, terutama pada isu pemberantasan korupsi yang memiliki kedudukan hukum sesuai putusan Mahkamah Konstitusi 003 Nomor 27.

Selain itu, para pemohon juga merupakan orang-orang yang terkena dampak langsung atas berlakunya Undang-Undang KPK baru tersebut.

"Bahwa legal standing itu berkaitan dengan hak warga negara mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, yang kemudian dianggap memiliki kedudukan hukum," kata Feri.

Selain itu, ia juga menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang nomor 12 tahun 2011 terdapat pembentukan peraturan perundang-undangan maka Undang-Undang KPK baru tersebut cacat formil karena tidak terpenuhinya kuorum saat kemudian rapat sidang paripurna.

Baca: Politikus PKS Pertanyakan Logika Pemberian Grasi Terhadap Annas Maamun

Merujuk pada ketentuan Tata Tertib DPR, ia mengatakan kata 'Dihadiri' di dalamnya juga termasuk dalam ketentuan Undang-Undang 12 tahun 2011 tersebut yang menurutnya berarti harus dihadiri secara fisik.

"Dalam catatan kami, setidak-tidaknya tercatat 180 an Anggota DPR yang tidak hadir dan menitipkan absennya. Sehingga seolah-olah terpenuhi kuorum sebesar 287 hingga 289 anggota dianggap hadir dalam persidangan itu. Padahal sebagian besar diantara mereka melakukan penitipan absen atau secara fisik dalam persidangan itu," kata Feri.

Selain itu, dalam permohonannya ia juga menyoroti tidak dilibatkannya pihak KPK dalam pembahasan Undang-Undang KPK baru tersebut.

Menurutnya, dalam putusan Mahkamah Konstitusi pernah dinyatakan bahwa KPK merupakan bagian dari eksekutif.

Sehingga, begitu Surat Presiden terkait pengiriman perwakilan-perwakilan sebagai perwakilan pemerintah dalam pembahasan Undang-Undang tersebut dikeluaekan maka menurutnya seharusnya perwakilan dari KPK juga dilibatkan.

Itu karena KPK merupakan bagian dari eksekutif dan lembaga yang berkaitan dengan pokok-pokok pembahasan yang diajukan perubahan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Tetapi pemerintah melalui surat presiden itu hanya mengirimkan dua perwakilan pemerintah, yaitu Menteri Hukum dan HAM dan Menpan RB. Menurut kami tidak salah dikirim dua ini, hanya semestinya juga dilibatkan KPK. Karena bagian dari eksekutif dan berkaitan langsung," kata Feri.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini