Perempuan kelahiran 1974 ini melanjutkan, jika pemerintah benar-benar ingin menerapkan hukuman mati perlu adanya diskusi menyeluruh antara DPR dan presiden lewat proses legislasi (pembentukan landasan hukum).
Baca: VIRAL Foto Kucing Temani Saudaranya yang Sudah Mati, Beri Makan dan Tidur di Sampingnya
"Harus ada diskusi pastinya, antara DPR dan pemerintah, serta memperhatikan aspirasi dari masyarakat," ungkap Dini.
Dini menyebut penerapan hukuman mati untuk para koruptor tidaklah mudah.
Menurutnya, hukuman mati berkaitan langsung dengan hak hidup dan menjadi hak dasar seorang individu yang tidak boleh direnggut secara semena-mena.
Disinggung soal anggota DPR yang tersandung masalah kasus korupsi, Dini menegaskan tidak akan merusak proses legislasi jika realisasi hukuman mati dilakukan.
"Tapi kan enggak semua tersandung masalah kasus korupsi," bebernya.
Dini melihat ada masyarakat Indonesia yang memukul rata, jika satu anggota DPR korup, maka semuanya juga ikut korup.
"Kadang-kadang masyarakat Indonesia suka sekali menggeneralisasi, hal kecil langsung diberlaku semua," tegas Dini.
Dalam kesempatan itu, Dini juga membantah jika Jokowi tidak memiliki semangat dalam pemberantasan korupsi saat memberikan grasi kepada Annas Maamun.
Dini meminta masyarakat untuk melihat lebih dalam pemberian grasi ini lewat data dan bukan lewat perasaan.
Baca: Kebijakan Penghapusan UN Nadiem Makarim, Pengamat Pendidikan: Ini Memerdekakan Guru
Menurutnya, pemberian grasi kepada Annas oleh Presiden Jokowi dilakukan atas pertimbangan nilai kemanusiaan.
"Kalau dilihat dari data, berapa kali sih Bapak Presiden ngasih garasi selama menjabat? Baru satu kali" ujar Dini.
"Jadi jangan disimpulkan Pak Jokowi tidak pro terhadap gerakan pemberantasan korupsi," lanjutnya.
(*)
(Tribunnews.com/Endra Kurniawan)