TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) akan menerapkan kebijakan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter mulai tahun 2021.
Kebijakan tersebut merupakan pengganti Ujian Nasional yang terakhir kali dilaksanakan pada tahun 2020.
Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Masyarakat Kemendikbud Ade Erlangga Masdiana pun memastikan bahwa rencana tersebut sudah menjadi kebijakan dan akan terus berjalan meski terjadi pergantian menteri di Kemendikbud.
Sistem UN direncanakan terakhir diberlakukan pada 2020 dan mulai diganti pada 2021.
"Kami bersama-sama dengan Komisi X (DPR) akan memastikan bahwa ini merupakan kebijakan, nanti bersama Komisi X akan merumuskan bersama-sama grand design seperti apa yang bisa menjadi tolak ukur atau titik tolak untuk melakukan perubahan-perubahan pendidikan ke depan," ujar Ade Erlangga ketika ditemui usai diskusi di Jakarta Pusat pada Sabtu (14/12/2019).
Hal itu dia tegaskan karena terdapat kekhawatiran rencana penggantian UN tidak akan terjadi bila muncul skenario penggantian pimpinan di Kemendikbud, dilansir dari YouTube KompasTV.
Ade Erlangga memastikan bahwa rencana itu akan tetap berjalan dan diperlukan peta jalan yang komprehensif agar penggantian tersebut bisa berjalan.
Menurut Ade, pihaknya sudah menyiapkan kajian untuk menetapkan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Rencana itu, menurut Mendikbud Nadiem Makarim akan dilaksanakan pada 2021 mendatang, sehingga di 2020 para siswa masih akan mengikuti UN seperti yang berlaku selama ini.
Sebelumnya, Nadiem telah mengumumkan rencana untuk mengganti format UN menjadi Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.
Nadiem telah mengeluarkan empat kebijakan dalam program 'Merdeka Belajar'.
Pernyataan tersebut disampaikan dalam video yang diunggah di kanal YouTube Kompas TV, Rabu (11/12/2019).
Berikut empat kebijakan yang dikeluarkan oleh Nadiem terkait sistem pendidikan di Indonesia:
1. Menghapus Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)
Nadiem mengatakan akan menghapus USBN yang selama ini telah dilaksanakan.
Sebagai gantinya hanya akan ada ujian sekolah.
Nadiem menginginkan sekolah memiliki tolak ukur tersendiri bagi muridnya.
Sehingga yang melakukan penilaian terhadap siswa dilakukan oleh gurunya sendiri.
"Sudah tidak ada USBN, itu kembali kepada sekolah. Jadi hanya ujian sekolah," jelas Nadiem.
"Secara jelas, evaluasi atau penilaian terhadap siswa atau murid itu dilakukan oleh guru,"
"Dan assessment untuk kelulusan itu adalah ditentukan oleh sekolah," tandasnya.
2. Mengganti sistem Ujian Nasional (UN)
Nadiem juga akan mengganti sistem UN menjadi assessment competency dan survey karakter.
Tidak hanya itu, Nadiem juga akan memajukan pelaksanaan sistem penilaian ini yang semula berada di akhir jenjang menjadi di tengah.
Sehingga hasil dari penilaian siswa tersebut tidak dapat digunakan sebagai alat seleksi siswa.
Nadiem menginginkan bukan siswa yang menjadi tolak ukur, seharusnya sekolah dan sistem pendidikan yang telah dilaksanakan di institusi tersebut.
"UN diganti jadi assessment competency dan survey karakter. UN itu sekarangkan di akhir jenjang, nanti akan ditengahkan jenjangnya, jadi itu tidak bisa digunakan sebagai alat seleksi siswa," ucap Nadiem.
"Sekarang yang dihukum itu kan siswanya kalau angkanya tidak baik."
"Itu sebenarnya menjadi tolak ukur untuk sekolah dan sistem pendidikannya," imbuhnya.
3. Perampingan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP)
Para guru di sekolah selalu membuat RPP untuk mempersiapkan kegiatan pembelajaran di kelas.
Rancangan tersebut dapat berlaku untuk satu pertemuan maupun dalam setiap periode.
Nadiem menuturkan akan merampingkan 13 komponen silabus yang tadinya harus dikembangkan untuk mengarahkan kegiatan pembelajaran bagi murid.
Apabila sebelumnya RPP memerlukan kertas yang banyak, Nadiem mengatakan ke depan hanya membutuhkan satu halaman yang terdiri dari tiga komponen.
"Ke tiga adalah RPP yang tadinya berhalaman-halaman, 13 komponen menjadi tiga komponen dan cukup satu halaman," tutur Nadiem.
4. Sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB)
Nadiem juga mengubah persentase sistem dalam proses PPDB berikutnya.
Sebelumnya, 80 persen menggunakan sistem zonasi, 15 persen jalur prestasi, dan 5 persen perpindahan.
Kemudian Nadiem mengubah menjadi 50 persen menggunakan sistem zonasi, 30 persen melalui jalur prestasi, 15 persen bagi pemiliki Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan 5 persen perpindahan.
"Jangan salah, 80 persen zonasi, lalu ada 5 persen perpindahan, baru yang prestasi itu 15 persen, itu sebelumnya," tutur Nadiem.
"Jadi pindah zonasi 50 persen, afirmasi yaitu Kartu Indonesia Pintar 15 persen, perpindahan 5 persen, jadi sisanya berapa tuh? Untuk prestasi 30 persen," tandasnya.
Ia juga menjelaskan dengan perubahan persentase tersebut diharapkan mampu memberikan kesempatan bagi siswa yang memiliki KIP.
Namun Nadiem tidak memaksakan kebijakan yang telah diputuskannya itu dilaksanakan oleh setiap instansi.
Nadiem akan menyerahkan kembali kepada masing-masing daerah untuk mencapai merdeka belajar Indonesia.
(Tribunnews.com/Indah Aprilin Cahyani)