News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Soal Uighur, Anggota Komisi I DPR Bela NU dan Muhammadiyah

Penulis: Wahyu Aji
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Anggota Komisi I DPR RI Willy Aditya.

“Tapi kita tidak bisa gagah-gagahan dalam menyikapi Uighur di China ini. Mendukung maupun mengecam hanya akan menjebak Indonesia dalam polarisasi yang justru memperkeruh suasana. Kasus Uighur ini harus dilihat dari banyak sudut pandang,” ujarnya.

Dia menjelaskan, masalah Uighur harus dilihat dari konteks kesejarahan yang menyertainya.

Selain itu, dialektika perang dagang antara AS dengan Tiongkok juga tidak bisa dinafikan.

Belum lagi ancaman terorisme, juga membayangi hubungan anatara Beijing dengan negara bagian Tiongkok di wilayah barat ini.

“Ada konteks resistensi dan politik budaya, bahasa yang juga diekspresikan oleh Uighur terhadap pemerintahan China. Hal ini dihadapi oleh pemerintah China dengan isu radikalisme, separatisme hingga terorisme. Jadi bukan cuma konteks keagamaan saja yang terjadi,” kata Willy.

Keluarnya UU Kebijakan HAM terkait Etnis Uighur (Uyghur Human Rights Policy Act of 2019) oleh Kongres Amerika pada 3 Desember 2019 lalu, menurutnya, tidak bisa dilihat berdiri sendiri.

Baca: Kasus Uighur, GP Ansor Minta Klarifikasi atas Lahan Minyak dan Gas di Xinjiang

UU tersebut memiliki konteks yang tidak bisa dilepaskan dari situasi ekonomi-politik yang menyertai dua negara tersebut.

Politisi Partai NasDem ini menjelaskan, Tiongkok tidak pernah menjadikan kondisi HAM negara tujuan kerja sama sebagai pertimbangan, apalagi sebagai cara untuk menundukkan negara tertentu dalam membangun kesepakatan bisnis.

Hal ini sangat berbeda dengan Amerika yang dalam beberapa kasus persaingan bisnisnya, bisa bermanuver dengan isu HAM.

Bahkan dalam UU Uighur ini, Amerika memberi legitimasi dan dorongan besar bagi media massanya untuk membuat laporan-laporan terkait kasus tersebut.

“Kepentingan Indonesia terhadap Uighur berbeda dengan kepentingan Amerika dan negara sekutunya. Kepentingan kita adalah menjaga perdamaian dunia, UUD 1945 tegas mengamanatkan hal itu,” ujarnya.

Dia menegaskan, sikap Indonesia terhadap kasus Uighur tidak boleh didasarkan pada sentimen-sentimen yang justru dapat merugikan semua pihak.

Baca: 5 Fakta Unik Tiongkok yang Menarik Perhatian Turis, Termasuk Bersendawa Sebagai Rasa Puas

Membela hak asasi manusia warga Uighur harus ditandaskan pada prinsip kemanusian dan imparsialitas.

“Kita bisa belajar dari perubahan sikap Turki menanggapi kasus Uighur ini. Dari sebelumnya mendukung suara Amerika dan memojokan China berubah total, setelah tahun 2017 ini justru mendukung suara China karena ada kepentingan politik-ekonominya. Kita tidak boleh mengedepankan kepentingan pragmatis semacam itu,” tegasnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini