TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Pemerintah didorong untuk meningkatkan keahlian atau keterampilan para tenaga kerja migran.
Dengan begitu, tenaga migran Iasal Indonesia yang dikirim ke luar negeri tidak hanya dipekerjakan untuk bidang-bidang seperti asisten rumah tangga saja, tapi juga bisa di bidang kerja terampil lainnya.
Direktur Penelitian Indef Berly Martawardaya mengatakan, Indonesia seharusnya belajar dari India yang banyak mengirim tenaga kerja terampil. Bahkan, kini banyak dokter atau peneliti asal India yang bekerja di berbagai negara lain seperti Amerika Serikat (AS).
”Indonesia perlu dorong pekerja migran medium dan high skill khususnya ke Asia Timur, Eropa dan AS,” ujar Berly dalam Diskusi Reboan bertema ”Buruh Migran Indonesia dari Perlindungan ke Grand Design Skill Worker” dalam rangka International Migrant Day di Kantor DPP PKB, Jalan Raden Saleh, Jakarta, Rabu (18/12/2019).
Baca: Peran Humas dalam Pelindungan Pekerja Migran Indonesia
Menurutnya, para pekerja yang hendak dikirim ke luar negeri perlu mendapatkan pelatihan kerja dan tersertifikasi. Bahkan, bila perlu sertifikasi internasional.
”Jadikan pekerja migran sebagai jangkar dan pintu bagi pekerja dan ekspor masa depan. Pekerja migran sebagai pahlawan devisa dan pembangunan,” tuturnya.
Senada dengan Berly, Presiden DPP Konfederasi Sarbumusi Saiful Basri Anshori mengatakan, untuk menciptakan tenaga kerja terampil, pertama hal yang harus diperhatikan adalah pola rekrutmen harus jelas.
”Jangan lagi ada manipulasi umur, pendidikan dan sebagainya sehingga mudah bagi kita untuk melatih mereka. Selama ini kita sering menemukan adanya pemalsuan dokumen calon tenaga kerja migran,” tuturnya.
Dia mencontohkan dalam proses mendapatkan sertifikat kerja, kerap kali pelatihan tidak dilakukan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
”Selama ini mereka hanya ingin mendapatkan sertifikat saja, bahkan cenderung dibuat palsu. Nah itu harus diperbaiki semua. Oleh kerana itu, kita harus manfaatkan BLK (Balai Latihan Kerja) secara optimal sehingga mereka benar-benar siap, mempunyai kemampuan untuk dikirim ke luar negeri, baik dari sisi pengetahuan maupun skill-nya,” tuturnya.
Selain itu, Saiful juga menekankan agar pemerintah fokus dalam pemetaan sector kerja bagi para tenaga migran.
”Kita perlu pemetaan sektor mana yang harus kita garap betul sehingga kita nggak asal,” urainya.
Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo mengatakan, seharusnya pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan transformasi tata kelola migrasi tenaga kerja yang sebelumnya bersifat sentralistik menjadi desentralisasi.
Transformasi ini membutuhkan kesiapan dari pemerintah daerah, mulai dari provinsi, kabupaten/kota hingga pada tingkat desa.
Namun demikian hingga saat ini juga belum ada langkah signifikan dalam proses transformasi ini.
”Langkah pendirian Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA) di beberapa daerah kantong pekerja migran belum diikuti dengan pemaksimalan fungsi-fungsi layanan publik di daerah untuk mendukung berlangsungnya mekanisme pelayanan penempatan pekerja migran berbasis perlindungan di daerah,” katanya.
Menurut Wahyu, amanat Undang-Undang No 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, pendidikan dan pelatihan juga akan lebih banyak dilakukan di daerah, namun hingga saat ini pemerintah masih lebih mengutamakan BLKN milik swasta untuk proses penyiapan calon pekerja migran.
Programmer Officer ILO, Irham Ali Saifudin, mengatakan, ada beberapa faktor perubahan yang harus dicermati dalam konteks pekerja migran.
Pertama adalah globalisasi, dimana dalam industri, rantai distribusi sudah sangat kompleks dan apa yang terjadi di satu negara tak bisa lepas dari kejadian di negara lainnya.
”Kedua soal cepatnya pertumbuhan teknologi informasi. Kabar baiknya, pekerjaan informal yang selama ini menjadi basis utama pekerja migran Indonesia, itu merupakan pekerjaan yang tidak bisa diganti mesin atau robot,” jelasnya.
Karena itu, jelas Irham, yang jadi pekerjaan rumah kemudian bagaimana agar sektor pekerjaan informal ini tidak dianggap sebelah mata dan tidak hanya dianggap sebagai low skill worker.
Selanjutnya adalah soal demografi, dimana Indonesia ada di antara negara asian yang paling menikmati bonus demografi pada 2030 sampai 2045.
Pada saat itu usia angkatan kerja Indonesia meningkat dan akan memberi kontribusi aktif terjadap pertumbuhan ekonomi.