TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD menyebut ada pasal-pasal 'pesanan' dalam proses legilasi peraturan perundang-undangan.
Mahfud MD mengatakan ada aturan hukum yang dibeli demi kepentingan tertentu.
Dikutip dari Kompas.com, ia menyebut saat ini pembuatan peraturan hukum di Indonesia kacau balau.
"Problem kita itu sekarang dalam membuat aturan hukum itu sering kacau balau, ada hukum yang dibeli, pasal-pasalnya dibuat karena pesanan itu ada," ujar Mahfud MD di Hotel Aryaduta, Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (19/12/2019).
Ia menyebut pasal 'pesanan' tersebut tidak hanya muncul dalam undang-undang, namun dalam pasal daerah juga terjadi.
"Disponsori oleh orang-orang tertentu agar ada aturan tertentu," lanjut Mahfud MD.
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini berujar banyak peraturan di Indonesia yang masih saling tumpang tindih.
Ia mengungkapkan, peraturan yang masih tumpang tindih itu mulai dari bidang perpajakan hingga perizinan.
Baca: Komisioner KPK Baru dan Lama Akan Berangkat Bersama ke Istana Negara
Baca: Dewan Pengawas KPK Dilantik Hari Ini, Pengamat: Publik Menanti Komitmen Presiden
Sehingga, Mahfud mengatakan, Presiden Jokowi memprioritaskan pembuatan omnibus law.
Tujuan dari pembuatan omnibus law tersebut untuk menyelaraskan peraturan yang berbeda-beda ataupun tumpang tindih menjadi satu peraturan perundang-undangan.
Masih mengutip Kompas.com, dugaan Mahfud MD soal pasal 'pesanan' tersebut ditanggapi oleh Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi).
Ketua Formappi, Lucius Karus memyinggung UU KPK Nomor 19 Tahun 2019.
Lucius menyebut Undang-undang tersebut sebagai UU 'siluman'.
Alasannya, ia mengatakan proses pembuatan UU KPK itu tak pernah diketahui oleh masyarakat.
"Banyak sinyalemen, banyak RUU lain juga mengalami proses yang sama. RUU KPK saya kira juga masuk dalam kategori siluman gitu ya," ungkap Lucius di kantor Formappi, Matraman Raya, Jakarta Timur, Kamis (19/12/2019).
Menurutnya UU tersebut masih saja dibahas, saat publik melakukan protes terkait rencana tersebut.
"Tidak pernah jelas rencananya seperti apa, kenapa tiba-tiba dibahas dan dalam waktu singkat di tengah protes publik yang begitu keras, mereka masih mengusahakannya," jelas Lucius.
Sehingga ia menyebut pengesahan Undang-undang KPK tersebut terkesan sangat cepat.
Ia mengatakan pengesahan UU tersebut bertujuan agar praktik korupsi semakin bebas.
"Makin ke sini kan kepentingan untuk bebas korupsi itu kelihatan."
"Misalnya, mengeluarkan grasi untuk koruptor atau Perppu KPK juga tidak pernah keluar. Itu hanya janji manis untuk meredakan aksi massa," jelasnya.
Senada dengan pernyataan Mahfud MD sebelumnya, Lucius mengatakan pasal-pasal dalam UU KPK banyak yang terindikasi pesanan koruptor yang merasa diintai oleh KPK.
"Hal-hal itu saya kira ada pesanan dan jelas pesanan dari koruptor atau minimal calon koruptor yang sudah mulai diintai KPK," kata Lucius.
Dengan adanya dugaan pasal 'pesanan' tersebut, Lucius meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lebih terbuka ketika membahas rancangan undang-undang.
Menurutnya, publik memiliki hak untuk mengawasi keputusan DPR tersebut.
"Harus patuh pada prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU 12 Tahun 2011, dan itu harus dilakukan secara terbuka."
"Hanya dengan terbuka publik mempunyai ruang melakukan kontrol terhadap segala sesuatu yang diputuskan di DPR," imbuh Lucius.
(Tribunnews.com/Nuryanti) (Kompas.com/Fitria Chusna Farisa/Tsarina Maharani)