TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Direktur Pusat Kajian Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Oce Madril menilai, ada potensi pertarungan antara relasi Dewan Pengawas (dewas) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pimpinan KPK, maupun pegawai KPK.
Ia beralasan, kedudukan lembaga, tugas dan fungsi dewas cenderung dominan ketimbang pimpinan KPK.
Seperti, pimpinan akan menemui batasan dalam melakukan penindakan atau penegakan hukum, misalnya penyadapan, di mana kalau ingin menggeledah, memeriksa ada dewan pengawas yang akan memberikan persetujuan.
"Jadi memang fungsi dewas itu yang menurut saya akan membuat lembaga itu bermasalah, relasi dewan pengawas dengan pimpinan, relasi dewan pengawas dengan pegawai berpotensi menimbulkan pertarungan di KPK," tutur dia pada Jumat (20/12/2019).
Baca: Inilah Sejumlah Kasus Korupsi Besar yang Diungkap KPK di Era Agus Rahardjo Cs
Lebih jauh, ahli hukum tata negara dari UGM ini mengungkapkan, pimpinan baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri cs bakal menemui kesulitan dalam menjalankan komisi antirasuah pasca diberlakukannya undang-undang KPK hasil revisi.
"Masalah yang timbul ketika undang-undang itu diterapkan adalah banyak tabrakan-tabrakan, ada banyak kesulitan, sehingga pimpinan KPK yang baru, ada dewas, itu akan menghadapi masalah sistemik yang ditimbulkan oleh undang-undang," ujarnya.
Baca: Menilik Total Harta Kekayaan 5 Dewas KPK, Harjono Paling Kaya, Syamsuddin Haris Masih Nihil di LHKPN
Selain itu tambah Oce, terkait status kepegawaian KPK yang akan menjadi aparatur sipil negara (ASN), juga mempengaruhi independensi KPK.
"Sebetulnya figur-figur ini tidak terlalu banyak membantu karena pimpinan ini berhadapan dengan undang-undang dan sistem yang baru. Jadi letak persoalannya pada Undang-undang Nomor 19 tahun 2019. Undang-undang hasil revisi itu banyak mengandung persoalan, mengandung banyak masalah," ucap Oce.