News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Korupsi di PT Timah

Pakar Hukum Sebut Penetapan 5 Perusahaan Jadi Tersangka Kasus Timah Kurang Tepat

Penulis: Ilham Rian Pratama
Editor: Wahyu Aji
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pakar hukum pidana, Jamin Ginting, di Program Breaking News Kompas TV, Rabu (24/7/2024).

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus korupsi terkait tata niaga timah memasuki babak baru dengan menyeret lima perusahaan yakni PT RBT, PT SIP, PT TIN, PT SB, dan CV VIP.

Kelima perusahaan tersebut ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini dengan dugaan kerugian negara mencapai Rp300 triliun selama periode 2015–2022. 

Namun, Pakar Hukum Jamin Ginting, memandang tindakan Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam menetapkan dakwaan terhadap perusahaan-perusahaan itu kurang tepat. 

Kalaupun mau tetap diterapkan, harusnya dakwaan tidak hanya terbatas pada lima perusahaan saja, tetapi juga menyeret PT Timah sendiri.

"Penerapan dakwaan yang dilakukan Kejagung tidak tepat, kecuali jika ada indikasi suap dan penyalahgunaan wewenang. Tidak semua hal yang menyebabkan kerugian negara dapat langsung dikategorikan sebagai korupsi. Seharusnya, para petinggi PT Timah juga diproses jika memang ini terkait dengan tindak pidana korupsi," kata dia kepada wartawan, Selasa (7/1/2025).

Lebih lanjut Jamin menekankan bahwa pengaturan hukum dalam kasus ini seharusnya lebih mengarah pada kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat kegiatan pertambangan timah, bukan langsung dikategorikan sebagai korupsi.

Jamin kemudian menjelaskan bahwa kasus ini lebih tepatnya menggunakan aturan dalam hukum lingkungan hidup, yang sudah mengatur perusahaan sebagai tersangka korporasi. 

Meski beberapa perusahaan sudah diadili dalam kaitannya dengan kerusakan lingkungan, dalam hal ini perhitungan kerugian negara yang disebutkan, yang mencapai Rp300 triliun, justru malah membuat bingung. 

Pasalnya, kerugian tersebut bukanlah bentuk kerugian negara yang nyata, melainkan potensi kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan timah yang belum membebani negara secara langsung. 

Hal inilah yang menurutnya perlu diluruskan, karena perhitungan kerugian negara yang tidak jelas ini menyebabkan kebingungannya.

"Ini membingungkan, karena kasus ini bukan semata-mata tindak pidana korupsi (tipikor), melainkan terkait dengan kerusakan lingkungan hidup. Ketentuan hukum yang ada dalam UU Tipikor tidak dapat mengatur masalah ini dengan baik. Kerugian negara yang dimaksud lebih kepada potensi kerusakan lingkungan yang timbul akibat pertambangan timah, yang belum membebani negara secara langsung," kata dia.

Lebih lanjut, Ginting menyatakan bahwa meskipun perusahaan bisa dijadikan tersangka dalam hal ini, hal itu harus didasarkan pada perhitungan yang lebih pasti dan matang. 

Jika terbukti perusahaan merusak lingkungan, maka hal tersebut bisa dimasukkan dalam kategori tindak pidana korupsi, mengingat kerusakan yang ditimbulkan dapat berakibat sangat merugikan negara. 

Namun, Jamin menegaskan bahwa potensi kerugian negara yang disebutkan dalam kasus ini belum dapat dianggap sebagai kerugian yang sesungguhnya, mengingat belum ada dana yang dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan tersebut.

Baca juga: Soroti Angka Rp300 T di Kasus Timah, Ahli Hukum Singgung Benturan Lembaga Penghitung Kerugian Negara

"Yang perlu ditekankan adalah bahwa potensi kerugian negara yang disebutkan dalam kasus ini masih sangat kabur, karena kerugian tersebut belum bersifat nyata dan belum ada dana yang dikeluarkan untuk memperbaiki kerusakan lingkungan tersebut," ujar Jamin.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini