TRIBUNNEWS.COM - Aturan kampanye di media sosial mendapatkan dorongan untuk dimasukkan ke dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Dorongan tersebut datang dari Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin kepada KPU.
Dilansir Kompas.com, Afif menilai pada pilkada sebelumnya, hal tersebut belum diatur secara detil.
Afif menyebut, padahal beberapa tahun kampanye calon kepala daerah banyak menggunakan media sosial.
"Kalau dari teknis pemilu kami mendorong peraturan kampanye terkait dengan kampanye pilkada besok cara kampanye di medsos diatur lebih detail ya. Kan kemarin tidak terlalu banyak diatur," kata Afif usai sebuah diskusi di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, Senin (23/12/2019).
Dijelaskannya, pengalaman pilkada dan pemilu sebelumnya, Bawaslu tidak bisa turun tangan menangani pelanggaran kampanye melalui media sosial.
Hal ini dikarenakan tak ada aturan detail tentang pelanggaran kampanye melalui media sosial di PKPU maupun UU Pemilu atau UU Pilkada.
Selain itu, penyelenggara pemilu terhambat dengan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Artinya, yang berwenang melakukan penindakan dalam penyalahgunaan sosial media adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).
Bukan Bawaslu sebagai pengawas pemilu.
"Misalnya ada satu akun yang melakukan ujaran kebencian, itu enggak bisa langsung kami turunkan (unggahan atau akunnya). Kami mesti koordinasi dengan Kominfo, koordinasi dengan platform lain," ujar Afif.
Arif menyebut panjangnya proses penindakan berujung pada ketidakefektifan.
Afif mengungkapkan contoh kasus pemilu sebelumnya, akun media sosial yang melanggar aturan kampanye baru diturunkan setelah pemilu itu selesai.
Afif berharap kampanye di media sosial bisa diatur secara detil agar memperkecil pelanggaran.
"Kita berharap besok ini sudah mulai terpetakan dan diatur oleh penyelenggara teknisnya yaitu KPU, bagaimana agar lalu lintas komunikasi di media sosial ini juga ada aturannya," kata dia.
Untuk diketahui, Pilkada 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia.
Sebanyak 270 wilayah ini meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.
Adapun hari pemungutan suara Pilkada jatuh pada 23 September tahun depan.
Soal Eks Koruptor
Sebelumnya, Bawaslu juga mendorong agar larangan mantan koruptor mencalonkan diri di pilkada dimasukkan dalam revisi UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.
Dilansir Kompas.com, Ketua Bawaslu mengatakan ada dua hal yang bisa mengakomodasi larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk mengikuti pilkada.
"Karena hak politik (para mantan terpidana korupsi) itu hanya bisa dicabut dengan dua hal, yakni putusan peradilan ataupun diatur dalam undang-undang," ujar Abhan, Selasa (10/12/2019) lalu.
Abhan menyebut UU Pilkada saat ini tidak memuat aturan larangan bagi eks koruptor untuk mengikuti kontestasi politik daerah itu.
Adapun caranya bisa dengan merevisi UU Pilkada dengan memasukkan larangan bagi bekas terpidana korupsi.
"Kami mendorong politisi di Senayan agar hal tersebut dinormalkan (dalam revisi) di undang-undang," kata Abhan.
Sebelumnya, KPU batal memberlakukan larangan mantan narapidana korupsi untuk mencalonkan diri di Pilkada 2020.
Semula, aturan tersebut akan dimasukkan dalam Peraturan KPU (PKPU) tentang Pencalonan Pilkada.
Meski batal, dalam PKPU bernomor 18 Tahun 2019 tersebut, KPU memasukkan aturan baru yang pada pokoknya meminta partai politik mengutamakan calon yang bukan bekas terpidana korupsi pada Pilkada 2020.
Komisioner KPU Evi Novida Gunting Manik, mengungkapkan ada sejumlah alasan batalnya larangan tersebut.
Alasan utamanya, KPU ingin fokus pada tahapan pencalonan Pilkada 2020.
Diketahui, tahapan tersebut sudah berjalan sejak 26 Oktober 2019.
"Karena kita juga sekarang ini kan lebih fokus pada tahapan. Jadi supaya jangan terlalu, misalnya menjadi lama," kata Evi saat dikonfirmasi, Jumat (6/12/2019) silam.
Tahapan Pilkada yang terus berjalan, Evi menyebut KPU harus segera mengeluarkan aturan yang akan dijadikan pedoman bagi penyelenggaraan pilkada.
"Kami intinya fokus pada tahapan saja. Kalau ini terlalu menjadi dipersoalkan dan lain sebagainya, ini kan bisa mengganggu tahapan pencalonan," ujar Evi.
Meski batal melarang eks koruptor jadi calon, KPU masih berharap supaya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada direvisi.
(TRIBUNNEWS.COM/Wahyu Gilang P) (Kompas.com/Fitria Chusna Farisa/Dian Erika Nugraheny)