TRIBUNNEWS.COM - Hujan yang menguyur sejak Selasa (31/12/2019) di sebagian besar wilayah Jabodetabek mengakibatkan sejumlah tempat terendam banjir.
Ketinggian banjir pun bervariasi, dari 1 meter hingga 4 meter.
Bencana banjir tersebut juga memakan korban jiwa.
Setidaknya 43 orang dinyatakan tewas dan lebih dari 35 ribu orang mengungsi akibat bencana banjir yang terjadi.
Dilansir dari rilis Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir yang terjadi di wilayah Jabodetabek diakibatkan oleh beberapa faktor.
Salah satunya diakibatkan oleh perubahan iklim dan cuaca yang terjadi di sebagian besar wilayah Jabodetabek.
Berikut data dan fakta terkait perubahan iklim yang meningkatkan resiko dan peluang hujan ekstrem di Jakarta yang Tribunnews rangkum dari akun Facebook BNPB:
1. Curah hujan ekstrim >150 mm/hari yang turun cukup merata di wilayah DKI Jakarta telah memicu banjir besar sebagaimana telah terjadi di tahun 2015 dan 2007 lalu.
2. Pengkajian data historis curah hujan harian BMKG selama 150 tahun (1866 – 2015), terdapat kesesuaian tren antara semakin seringnya kejadian banjir signifikan di Jakarta dengan peningkatan intensitas curah hujan ekstrem tahunan sebagaimana terjadi kemarin pada 1 Januari 2020.
3. Di wilayah Jabodetabek (data 43 tahun terakhir), curah hujan harian tertinggi per tahun mengindikasikan tren kenaikan intensitas 10 - 20 mm per-10 tahun.
4. Analisis statistik ekstrem data series 150 tahun Stasiun Jakarta Observatory BMKG untuk perubahan risiko dan peluang terjadinya curah hujan ekstrem penyebab kejadian banjir dengan perulangan sebagaimana periode ulang kejadian 2014, 2015 (termasuk bila kejadian 2020 diperhitungkan).
Di Jakarta menunjukkan peningkatan 2-3% bila dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu. Hal ini menandakan hujan-hujan besar yang dulu jarang, kini lebih berpeluang kerap hadir pada kondisi iklim saat ini.
5. Curah hujan ekstrem awal tahun 2020 ini merupakan salah satu kejadian hujan paling ekstrim selama ada pengukuran dan pencatatan curah hujan di Jakarta dan sekitarnya (berdasarkan batasan persentil 99% dan 99.9%).
Curah Hujan ekstrem tertinggi selama ada pencatatan hujan sejak 1866.
6. Hujan sangat lebat berdurasi panjang mulai tanggal 31 Desember 2019 sore hingga 1 Januari 2020 pagi menyebabkan banjir cukup luas. Setidaknya 43 orang meninggal dan lebih dari 35.000 orang mengungsi dari 158 kelurahan yang terdampak.
7. Wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat tercatat sebagai wilayah yang paling banyak kelurahan terdampaknya, yaitu sejumlah 65 dan 30 kelurahan.
8. Curah hujan ekstrem tertinggi juga terkonsentrasi di wilayah Jakarta Timur dan Jakarta Barat. Pengukuran BMKG menunjukkan curah hujan tertinggi tercatat di Bandara Halim Perdana Kusuma 377 mm/hari, di TMII 335 mm/hari, Kembangan 265 mm/hari, Pulo Gadung 260 mm/hari, Jatiasih 260 mm/hari, Cikeas: 246 mm/hari, dan di Tomang 226 mm/hari.
9. Sebaran curah hujan ekstrem tersebut lebih tinggi dan lebih luas daripada kejadian banjir – banjir sebelumnya, termasuk banjir Jakarta 2007 dan 2015.
Curah hujan 377 mm/hari di Halim merupakan rekor baru curah hujan tertinggi sepanjang ada pencatatan hujan di Jakarta dan sekitarnya sejak pengukuran pertama kali dilakukan tahun 1866 pada zaman kolonial Belanda.
10. Kejadian banjir dan curah hujan ekstrem tidak hanya terjadi di DKI Jakarta, beberapa wilayah di Bekasi, Kota/Kab. Bogor, serta Kab. Lebak (Jawa Barat) juga terdampak banjir bandang.
Pantauan radar cuaca menunjukkan awan potensi hujan cukup tebal terjadi di sebagian wilayah Banten, Jawa Barat, dan DKI Jakarta.
11. Analisis meteorologis pada 01 Januari 2020 pagi hari menunjukkan curah hujan tinggi tidak biasanya tersebut dipengaruhi oleh penguatan aliran monsun Asia dan indikasi jalur daerah konvergensi massa udara / pertemuan angin monsun intertropis (ITCZ) tepat berada di atas wilayah Jawa bagian utara.
ITCZ memicu pertumbuhan awan yang sangat cepat, tebal, dan masif akibat penguapan dari lautan sekitar Pulau Jawa yang sudah menghangat dan menyuplai kelimpahan massa uap air bagi atmosfer di atasnya.
Banjir Jakarta
Penyebab banjir di Jakarta sejatinya bukan hanya masalah curah hujan ekstrem dan fenomena meteorologis.
Terdapat beberapa faktor lain seperti besarnya limpasan air dari daerah hulu, berkurangnya waduk dan danau tempat penyimpanan air banjir, permasalahan menyempit dan mendangkalnya sungai akibat sedimentasi dan penuhnya sampah,
Rendaman rob akibat permukaan laut pasang serta faktor penurunan tanah (ground subsidence) yang meningkatkan risiko genangan air, akan tetapi curah hujan ekstrem paling dominan sebagai penyebab banjir di Jakarta.
BMKG menghimbau agar semua pihak dan masyarakat tetap waspada terhadap peluang curah hujan tinggi yang masih mungkin mengingat puncak musim hujan diprakirakan akan terjadi pada bulan Februari hingga Maret.
Selain juga masih terdapat peluang fenomena gelombang atmosfer ekuator/Madden-Julian Oscillation (MJO) dan seruakan dingin yang dapat terjadi sebagai variabilitas iklim dimusim hujan kali ini.
Pemerintah dan masyarakat diharapkan terus meningkatkan kesadarannya terhadap lingkungan dan semua persoalan yang menjadi penyebab banjir Jakarta.
Dan secara umum terhadap risiko bencana terkait iklim dan cuaca (hidrometeorologi) di masa mendatang.
(Tribunnews.com/Muhammad Nur Wahid Rizqy)