TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sebelum menjadi ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisaris Jenderal Polisi Firli Bahuri pernah mengemban sejumlah jabatan di kepolisian. Dia pernah menjadi wakil kepala Kepolisian Daerah Banten dan Jawa Tengah.
Firli kemudian menjadi kepala Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat dan Sumatera Selatan. Sebelum masuk KPK, Firli juga sempat menjabat sebagai kepala Badan Pemeliharaan Polri dan analis kebijakan utama Baharkam Polri.
Di balik sebuah pencapaian yang tinggi, ternyata ada sebuah perjuangan berat yang harus Firli lalui. Siapa sangka, Firli pernah gagal lolos tes masuk Akademi Kepolisian (dulu AKABRI, red). Bukan hanya sekali, tapi berkali-kali.
Bagaimana cerita perjuangan pria asal Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan ini untuk menjadi seorang penegak hukum? Firli Bahuri menuturkan itu kepada Tribun Network dalam sebuah wawancara eksklusif di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Selasa (21/1) petang.
Anda cerita enam kali tes untuk masuk Akpol. Kenapa Anda sampai enam kali tes dan masih bersikukuh masuk Akpol?
Selama enam kali itu saya bukan menganggur. Tes pertama tahun 82 itu saya gagal, terus saya ikut kuliah. Tetapi kan kuliah tentu biayanya besar, sudah kuliah besar, setelah kuliahpun belum tentu juga dapat pekerjaan.
Sementara saya berlatar belakang keluarga yang jauh dari kecukupan, tentu kita harus fight. Seperti yang saya tadi bilang, man is born to life. Jadi lahir hanya untuk hidup. Setelah dia lahir, dia tidak disiapkan untuk hidup dan kehidupannya.
Maka saya harus menyiapkan diri. Dan kita semuanya itu punya hak untuk memilih. Apakah Anda akan memilih A, memilih B, karena begitu banyak hambatan dan pilihan.
Nah, kebetulan saya memilih untuk terus berusaha, untuk menjadi taruna Akabri. Tahun 82 saya gagal, pulang dari Magelang. Tahun 83 saya gagal lagi, pulang lagi dari Magelang.
Tahun 84, pulang lagi dari Magelang. Kebetulan ada pendaftaran bintara, saya ikut. Masuk. Berjalan selesai lulus, saya pindah ke Bandung. Saya daftar lagi tahun 85 di Bandung.
Nah, di situ, tahun 85 saya mengenal sosok Akabri yaitu Pak Suhardi Alius (Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme). Dia letnan dua, saya sersan satu.
Saya juga kenal dengan sosok Pak Heru Winarko (Kepala Badan Narkotika Nasional). Dia letnan dua, saya sersan satu.
Saya daftar lagi 85, sampai Magelang balik lagi. Tahun 86 saya daftar lagi, berangkat Magelang, balik lagi. Tahun 87 saya daftar lagi, akhirnya diterima di Akpol di Semarang.
Kenapa memilih untuk menjadi polisi?
(Tertawa) Dulu kita di kampung melihat sosok polisi itu, setiap ada kegiatan masyarakat dia ada. Ada orang meninggal dunia, dia datang. Ada orang kena musibah, dia datang. Ada orang hajatan atau khitanan, dia datang.