"Dan anak-anak itu bisa didefinisikan misalnya dengan UU Perlindungan Anak."
"Anak-anak ini di bawah 17 tahun, tapi ingat 14 tahun di sana itu sudah gede banget."
"Mereka sudah bisa menembak, bongkar senapan mesin, bisa menciptakan bom, jadi bahaya juga."
"Bisa saja nanti kita definisikan anak-anak yang diambil adalah misalnya di bawah 10 tahun," papar Ridlwan.
Ridlwan mengaku, ia dan akademisi telah mempertimbangkan hal ini berdasar data-data dan situasi yang terjadi di internal Indonesia.
"Di internal kementerian, di internal BNPT, di lintas kementerian, kami melihat sangat belum siap untuk menerima semuanya," terangnya.
Namun, jika WNI eks ISIS yang dipulangkan secara selektif seperti yang sudah dipaparkan.
Hal itu bisa memungkinkan untuk dilakukan rehabilitasi tetapi tetap harus ada tambahan Satuan Tugas (Satgas).
"Harus ada misalnya dari Kementerian Perlindungan Anak, ada Kementerian Sosial di situ, ada psikolog-psikolog handal di situ," kata Ridlwan.
Hal tersebut perlu dilakukan lantaran, mengubah psikologi anak butuh usaha lebih keras.
Apalagi anak-anak yang terlibat pasca konflik, dengan situasi mereka melihat darah hampir setiap hari.
"Tidak hanya melihat(darah), mereka dilatih memegang pisau, mereka dilatih untuk menusuk orang."
"Jadi merehabilitasinya memang beban berat tetapi masih memungkinkan menurut kami," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)