TRIBUNNEWS.COM - Orangtua Warga Negara Indonesia (WNI) Eks ISIS, Wargiyem asal Solo, Jawa Tengah meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memulangkan anaknya.
Putri dari Wargiyem bergabung ke ISIS dan saat ini berada kamp pengungsian.
Wargiyem menuturkan, anaknya berangkat ke Suriah pada akhir 2014 lalu bersama sang suami.
Hal tersebut diungkapkan Wargiyem dalam acara Kabar Petang yang diunggah di kanal YouTube TVOne News, Senin (10/2/2020).
Bahkan, Wagiyem mengatakan, awalnya dirinya tidak mengetahui jika sang anak berangkat ke Suriah.
"Saya tidak tahu, tahu-tahu sudah dikabari kalau sudah di Suriah," ujar Wargiyem.
Ia mengatakan, dirinya sempat terkejut mendapat kabar sang anak sudah berada di Suriah dan bergabung dengan ISIS.
"Saya sendiri kaget, anak saya nggak tahu apa-apa itu, anak saya itu orang baik-baik, pendiam dan pintar," ungkap Wargiyem.
Wargiyem mengatakan, ia aktif berkomunikasi dengan sang anak yang saat ini masih berada di kamp pengungsian.
Setiap komunikasi, Wargiyem mengungkapkan, sang anak meminta bantuannya untuk dikirim uang.
Hal itu lantaran, di kamp pengungsian, sang anak kekurangan bahan makanan dan tak punya uang.
"Akhir-akhir ini sering komunikasi mohon dibantu, kami di sini kesusahan, mohon dibantu untuk makan anak dan cucu."
"Kalau tidak ada makan, saya puasa, mohon dibantu, terus dan terus," tutur Wargiyem menceritakan sang anak meminta bantuannya.
Baca: Polemik Pemulangan WNI Eks ISIS, Komnas HAM Sebut Harus Ada Indentifikasi: Kalau Terpapar Ya Diadili
Baca: Soal Pemulangan WNI Eks ISIS, Choirul Anam: Saya Harap Wapres Maruf Amin Mau Menangani
Menurut Wargiyem, dari cerita anaknya, sekarang di kamp pengungsian sudah terdapat ribuan orang yang mengungsi.
Mereka sudah tidak mendapat bantuan dari PBB, sehingga membutuhkan bantuan dari keluarga.
"Jadi sekarang sering meminta untuk dikirim uang."
"Saya kirim 200 dollar (Rp 2,7 juta), itu sebulan dua kali karena anak saya sudah punya anak dua. Jadi yang boros anak yang kecil-kecil itu," ungkapnya.
Wargiyem pun menuturkan, anaknya hanyalah korban perang yang tidak tahu apa-apa.
Ia mengatakan, anaknya di sana hanya menjadi ibu rumah tangga, masak dan mengurus kedua cucu Wargiyem.
"Saya adalah korban, anak saya juga korban, anak saya tidak tahu apa-apa di situ."
"Jadi anak saya cuma ngurusi popok bayi dan masak," ucapnya.
Wargiyem kemudian meminta kepada Pemerintahan, khususnya Presiden Jokowi untuk memulangkan anaknya ke Indonesia.
"Pemerintahan Pak Jokowi mohon anak kami pulangkan ke Indonesia dengan selamat."
"Mohon, anak kami pulangkan ke Indonesia dengan selamat."
"Anak saya sudah menjerit-jerit minta pulang," terang Wargiyem.
Diketahui, belakangan ramai menjadi perbincangan publik soal wacana pemulangan ratusan WNI eks ISIS.
Namun, terkait dengan hal itu, pemerintah masih belum memutuskan.
Pro Kontra Pemulangan WNI Eks ISIS, Akademisi Tawarkan Opsi Ketiga
Wacana pemulangan lebih dari 600 Warga Negara Indonesia (WNI) eks Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) ke Tanah Air menuai polemik dan perdebatan banyak pihak.
Ada pihak yang setuju dengan wacana pemulangan WNI eks ISIS, tak sedikit pula yang menolak wacana tersebut.
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan habib menawarkan opsi ketiga sebagai pilihan dari pro dan kontra yang ada.
Hal tersebut diungkapkan Ridlwan dalam acara Apa Kabar Indonesia Pagi yang diunggah di kanal YouTube Talk Show TVOne, Senin (10/2/2020).
"Kami dari akademisi menawarkan opsi ketiga dari pro dan kontra ini."
"Yakni memulangkan khusus anak-anak di bawah 10 tahun dan wanita yang lemah," ujar Ridlwan.
Lebih lanjut, Ridlwan menjelaskan pertimbangan dari opsi tersebut adalah, mereka masih bisa direhabilitasi secara psikologis.
Selain itu, jumlah mereka yang masuk kategori tersebut tidak banyak.
"Memang nanti akan ada perdebatan kenapa wanita yang nggak lemah nggak dipulangkan."
"Karena di ISIS itu wanita dan pria itu sama militannya, kemampuan mereka sama," ungkap Ridlwan.
Terkait kriteria yang masuk kategori wanita lemah, Ridlwan mengatakan, hal itu bisa diciptakan pemerintah melalui peraturan pemerintah atau peraturan presiden.
"Mendefinisikan misalnya, yang dianggap lemah itu yang sakit, ketika di sana sakit parah, kena rudal misalnya atau usia di atas 50 tahun," terangnya.
Selanjutnya, untuk kriteria anak-anak yang pantas dipulangkan.
Ridlwan menegaskan, mereka yang berhak dipulangkan adalah anak-anak di bawah 10 tahun.
Baca: Pengamat Terorisme Sebut Eks ISIS Gampang Bohong, Korban Terorisme: Berat Menerima, Trauma Masih Ada
Baca: Wacana Pemulangan WNI eks ISIS, Jokowi Sebut Ada Rapat, Menteri Agama Tegaskan Penolakan
"Dan anak-anak itu bisa didefinisikan misalnya dengan UU Perlindungan Anak."
"Anak-anak ini di bawah 17 tahun, tapi ingat 14 tahun di sana itu sudah gede banget."
"Mereka sudah bisa menembak, bongkar senapan mesin, bisa menciptakan bom, jadi bahaya juga."
"Bisa saja nanti kita definisikan anak-anak yang diambil adalah misalnya di bawah 10 tahun," papar Ridlwan.
Ridlwan mengaku, ia dan akademisi telah mempertimbangkan hal ini berdasar data-data dan situasi yang terjadi di internal Indonesia.
"Di internal kementerian, di internal BNPT, di lintas kementerian, kami melihat sangat belum siap untuk menerima semuanya," terangnya.
Namun, jika WNI eks ISIS yang dipulangkan secara selektif seperti yang sudah dipaparkan.
Hal itu bisa memungkinkan untuk dilakukan rehabilitasi tetapi tetap harus ada tambahan Satuan Tugas (Satgas).
"Harus ada misalnya dari Kementerian Perlindungan Anak, ada Kementerian Sosial di situ, ada psikolog-psikolog handal di situ," kata Ridlwan.
Hal tersebut perlu dilakukan lantaran, mengubah psikologi anak butuh usaha lebih keras.
Apalagi anak-anak yang terlibat pasca konflik, dengan situasi mereka melihat darah hampir setiap hari.
"Tidak hanya melihat(darah), mereka dilatih memegang pisau, mereka dilatih untuk menusuk orang."
"Jadi merehabilitasinya memang beban berat tetapi masih memungkinkan menurut kami," ungkapnya.
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)