News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Eksklusif Tribunnews

RUU Cilaka: Gaya Orde Baru Pemerintah Masuk Lewat 'Jalan Tikus' Urusi Pers

Penulis: Dennis Destryawan
Editor: Rachmat Hidayat
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Aksi demo buruh saat menolak Omnibus Law.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA-Pemerintah dianggap berupaya masuk lewat 'Jalan Tikus' untuk urusi Pers. Terutama melalui Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), yang kini diubah menjadi Cipta Kerja.

Terdapat revisi beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Tertulis dalam Pasal 87 RUU Cipta Kerja. Perubahan mengenai modal asing dan ketentuan pidana.

Pada Pasal 11 UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers tertulis, "Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal,". Dalam RUU Cipta Kerja ketentuan diubah menjadi,"Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal,".

Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan LBH Pers menolak upaya pemerintah campur tangan lagi terhadap pers.

Baca: Pengamat: Jokowi Berpotensi Lahirkan Neo Orde Baru Melalui Omnibus Law

Ketua Umum AJI, Abdul Manan mengatakan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi payung hukum kebebasan pers saat ini. Menurut dia, UU itu dibentuk dengan semangat self regulatoryy dan tidak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.

Baca: Menteri Agama Ungkap Alasan Ormas Islam Bisa Terbitkan Sertifikasi Halal di RUU Omnibus Law

Semangat itu berkaca dari pengalaman buru di masa pemerintahan Orde Baru yang melakukan campur tangan terhadap Pers di Indonesia. Karena itu, kata Abdul, usulan revisi agar ada Peraturan Pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi adalah bentuk meunduran bagi kebebasan pers.

"Ini sama saja dengan menciptakan mekanisme “pintu belakang” (back door), atau “jalan tikus”, bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers. AJI mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang," kata Manan, Senin (17/2/2020).

Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana juga menyoroti dinaikkannya sanksi denda bagi perusahaan pers. Dalam usulannya, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 Ayat (1) dan Ayat (2), serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp2 miliar, atau naik dari sebelumnya Rp500 juta.

Pasal 5 Ayat (1) mengatur tentang “Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah. Pasal 5 Ayat (2) berisi ketentuan soal “Pers wajib melayani Hak Jawab.

Baca: Sebelum jadi Undang-undang Publik Diminta Beri Masukan Terkait Omnibus Law

Pasal 13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

"Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400 persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Secara prinsip kami setuju ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers. Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik," ujarnya.

Dengan jumlah denda yang sebesar itu, Yadi menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam. Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers. "Oleh karena itu, kami meminta usulan revisi pasal ini dicabut," imbuh Yadi.

Yadi menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan Undang-Undang Pers. Undang-Undang itu selama ini dinilai masih memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan konsisten. Menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar Pasal 4 Ayat (2) dan (3) adalah bukan solusi untuk menegakkan UU Pers.

"Ayat (2) mengatur soal “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran”, Ayat (3) berisi jaminan bagi “pers nasional dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi,” katanya.

Baca: Polemik Harga Gas Industri, DPR Tegaskan Pentingnya Mekanisme Kontrol

Halaman
12
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini