TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) mengkritik keputusan DPR melanjutkan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di tengah pandemi virus corona (covid-19).
Gerakan tersebut diinisiasi oleh beberapa aktivis yakni Arif Susanto, Jeirry Sumampow, Badi'ul Hadi, Kaka Suminta, Alwan Riantobi, Yusfitriadi, Ray Rangkuti dan Lucius Karus.
Keputusan DPR tersebut diambil dalam rapat paripurna pada Kamis (2/4/2020) dengan alasan RUU itu disertai Surat Presiden (Surpres) sejak 12 Februari 2020 lalu dan merupakan bagian RUU prioritas.
Mereka menilai langkah tersebut sebagai bencana politik.
Sebab keputusan itu menyakitkan karena menihilkan keberatan banyak elemen masyarakat tentang substansi RUU tersebut, dan juga menyesakkan karena terasa menambah berat beban masyarakat yang tengah berkutat dengan kondisi darurat covid-19.
Baca: Baleg DPR Akan Bahas Omnibus Law Cipta Kerja di Tengah Pandemi Corona
Mereka menyebut tidak terdapat alasan mendesak untuk melanjutkan pembahasan RUU bermasalah di tengah konsentrasi seluruh warga negara menanggulangi pandemi covid-19.
"DPR terkesan mencuri kesempatan dalam kesempitan dengan membahas RUU yang sebelumnya banyak ditolak. Rendahnya sensitivitas juga tampak jika kita mengkontraskan antara masyarakat yang tengah bergotong-royong untuk saling membantu mengatasi bencana, sedangkan DPR malah bersekongkol dengan pemerintah untuk melanjutkan RUU Cipta Kerja yang dapat menghadirkan suatu bencana politik,” kata pernyataan persi GIAD itu, Jumat (3/4/2020).
Mereka mengatakan terdapat 39 RUU Prioritas yang merupakan usulan DPR.
Baca: Percepat Pemulihan Pasca Covid-19, DPR Diminta Segera Bahas Omnibus Law
Di masa darurat seperti ini, mestinya pelaksanaan fungsi legislasi DPR bisa dilakukan dengan memastikan penyusunan naskah akademik dan naskah draf RUU-RUU usulan DPR itu ketimbang mempercepat pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja yang menyimpan banyak isu kontroversial.
Ini karena tahap penyusunan naskah akademik dan draf RUU tak mesti dilakukan lewat kegiatan yang mengumpulkan banyak orang.
Pembahasan bisa dilakukan dari rumah masing-masing anggota dewan.
Pada sisi lain, lanjutnya, pemerintah terkesan menunjukkan sikap keras kepala dan abai terhadap segala bentuk keberatan masyarakat terhadap RUU Cipta Kerja.
Baca: Politikus PAN Minta Pembahasan Omnibus Law Cipta Kerja Ditunda dan Fokus Tangani Corona
GIAD heran karena di tengah ketidaksiapan dan kelambatan penanganan pandemi covid-19, pemerintah tampak kehilangan fokus dengan kembali bersekongkol bersama DPR untuk mengecoh rakyat.
Ketika warga negara berharap pemerintah mengerahkan segala sumber daya demi mencegah keadaan yang lebih buruk, mereka justru menciptakan momentum untuk mempercepat pembahasan RUU Cipta Kerja.
"Ketika kepatuhan warga negara kepada pemerintah menjadi salah satu kunci untuk memulihkan keadaan, pemerintah justru menyia-nyiakan harapan dan kepercayaan warga negara. Alih-alih bekerja keras dan memberi rasa tenang kepada masyarakat, akuntabilitas dan kecepatan respons pemerintah kini dalam pertanyaan besar," ujarnya.
Mereka menegaskan persekongkolan DPR bersama pemerintah untuk mengecoh rakyat demi mempercepat pengesahan rancangan-rancangan undang-undang yang bermasalah harus dihentikan.
Gedung DPR semestinya bukan ruang rahasia di mana konspirasi dirancang.
Gedung parlemen harus menjadi rumah rakyat tempat keputusan bersama dibahas secara transparan dan inklusif.
Tanpa keterlibatan meluas dan intensif publik, pembahasan RUU Cipta Kerja hanya akan menghasilkan legislasi yang cacat moral.
"GIAD menyatakan menolak pembahasan RUU ini dilanjutkan sampai waktu di mana pemerintah menyatakan situasi kita sudah normal. RUU yang menyita perhatian masyarakat sebaiknya dibahas dalam situasi di mana negara kita tidak darurat apa pun. Pemerintah dan DPR sebaiknya memprioritaskan pembahasan aturan yang memperkuat upaya pencegahan dan pemulihan negara ini dalam menghadapi pandemi Covid-19," katanya.