News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Usulan Pembebasan Koruptor, Wakil Ketua KPK Nurul Guhfron Minta Menkumham Pahami PP 99

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Sanusi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron (kiri)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, mengusulkan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Upaya revisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 itu dilakukan untuk mengatasi over capacity (kelebihan penghuni) di rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas).

Kondisi over capacity itu dinilai mengkhawatirkan di tengah situasi pandemi coronavirus disease (Covid)-19.

Baca: Yasonna: Hanya Orang Tumpul Rasa Kemanusiaan Tidak Terima Pembebasan Napi

Baca: Yasonna: Kritik Terhadap Pembebasan Napi di Lapas Kelebihan Kapasitas Jauh dari Adab Ketimuran

Baca: KPK Tolak Pandemi Corona Dijadikan Alasan Membebaskan Koruptor

Menanggapi usulan dari Menkumham Yasonna Laoly itu, Wakil Ketua KPK Nurul Guhfron, meminta Politisi PDI Perjuangan itu membuka dan membaca Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 itu.

Dia memahami keresahan masyarakat terhadap para koruptor. Selain telah melanggar hukum, kata dia, koruptor juga telah merampas hak-hak masyarakat saat melakukan korupsi.

“Harapan kami, Kemenkumham harus bisa memastikan apakah ada napi yang terkena corona atau tidak. Apabila ada, maka napi tersebut yang dipindahkan, bukan kemudian mengubah PP. Silakan buka kembali PP agar lebih bisa dipahami,” kata Nurul Guhfron, dalam keterangannya, Minggu (5/4/2020).

Dia menyarankan, Kementerian Hukum dan HAM secara serius melakukan pembenahan pengelolaan lapas dan rutan.

Sejauh ini, dia menilai, setelah upaya operasi tangkap tangan di Lapas Sukamiskin pada Juli 2018, Kementerian Hukum dan HAM belum memperbaiki pengelolaan dan melaksanakan rencana aksi yang telah disusun terkait perbaikan lapas.

Sehingga, dia mengungkapkan, kapasitas ruang sel dan penghuni menjadi tidak seimbang. Meskipun, sejauh ini, dia menilai, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM sudah mulai melakukan perbaikan.

“Selama hal tersebut terjadi, seharusnya over capacity lapas bukan alasan tepat. Namun akan menimbulkan ketidakadilan baru. KPK pernah menemukan ribuan napi dan tahanan di rutan atau lapas yang overstay, seharusnya telah keluar, tetapi karena persoalan administrasi masih berada di lapas,” tuturnya.

Salah satu hal yang harus menjadi perhatian adalah penyebab kelebihan penghuni, karena narapidana kasus narkotika dan narapidana tindak pidana umum yang seharusnya dapat mendapatkan rehabilitasi.

Dia menambahkan, penguatan data perlu menjadi dasar sikap Kementerian Hukum dan HAM, terkait dampak pandemi corona di lapas. Hal ini diharapkan membuat masyarakat bisa lebih memahami kebijakan tersebut memang atas dasar kemanusiaan, dan dilaksankan secara adil.

“Karena dengan cara inilah kita bisa memastikan capaian tujuan pembinaan di lapas, termasuk memastikan apakah terdampak pandemi corona ini. Sehingga, over kapasitas dapat diminimalisir dan pemetaan napi yang patut dibebaskan dan atau tidak dibebaskan, juga lebih terukur,” tambahnya.

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengusulkan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

Upaya itu dilakukan untuk mengatasi over capacity (kelebihan penghuni) di rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (lapas). Kondisi over capacity itu mengkhawatirkan di tengah situasi pandemi coronavirus disease (covid)-19.

“Perkiraan kami adalah bagaimana merevisi PP 99 dengan beberapa kriteria ketat yang dibuat sementara ini,” kata Yasonna, dalam sesi rapat kerja virtual dengan Komisi III DPR RI, Rabu (1/4/2020).

Dia menjelaskan, kriteria pertama, narapidana kasus tindak pidana narkotika yang masa hukuman di antara 5 sampai 10 tahun dan telah menjalani dua per tiga dari masa hukuman pidana.

“Kami berikan asimilasi di rumah. Diperkirakan 15.482 per hari ini. Data mungkin bertambah hari bertambah jumlah,” ujar Politisi PDI Perjuangan itu.

Untuk kriteria kedua, kata dia, narapidana kasus tindak pidana korupsi yang berusia 60 tahun dan telah menjalani dua per tiga dari masa hukuman pidana. “(Jumlah,-red) sebanyak 300 orang,” kata dia.

Kriteria ketiga, dia mengungkapkan, narapidana yang melakukan tindak pidana khusus, yang sedang menjalani sakit kronis. Untuk kriteria ini, dia menegaskan, harus ada surat keterangan dari dokter di rumah sakit pemerintah.

“Narapidana tindak pidana khusus dengan kondisi sakit kronis dan dinyatakan dokter rumah sakit pemerintah yang telah menjalani dua per tiga dari masa hukuman pidana. Sebanyak 1457 orang,” ujarnya.

Kriteria terakhir, kata dia, narapidana warga negara asing (WNA).

“Napi asing, karena ini juga tidak boleh diskriminasi ada 53 orang,” kata dia.

Usulan Yasonna itu memunculkan pro dan kontra di masyarakat. Belakangan, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam), Mahfud MD, menegaskan pemerintah tidak ada rencana merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan.

“Agar clear ya, sampai sekarang pemerintah tidak merencanakan mengubah atau mereivisi PP 99 Tahun 2012. Juga tidak memberikan remisi atau pembebasan bersyarat kepada pelaku atau kepada narapidana korupsi juga tidak terhadap teroris juga tidak terhadap bandar narkoba,” kata Mahfud, saat menyampaikan keterangan melalui video yang tersebar luas, Sabtu (4/4/2020) malam.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini