TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Jaksa KPK mengungkap percakapan antara terdakwa penyuap eks komisioner KPU Wahyu Setiawan, Saeful Bahri dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto terkait 'Ok sip', 'DP penghijauan' dan nominal '850'.
Jaksa mencecar Hasto soal maksud percakapannya itu.
Hal itu diungkapkan jaksa saat Hasto bersaksi dalam dalam sidang kasus dugaan suap caleg PDIP Harun Masiku ke komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR dari PDIP untuk Dapil Sumatera Selatan I, dengan terdakwa Saeful Bahri, Kamis (16/4/2020).
Dalam perkara ini, Saeful Bahri merupakan kader PDIP sekaligus staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
Persidangan ini digelar melalui telekonferensi video di Jakarta, Kamis (16/4). Terdakwa Saeful Bahri menjalani persidangan dari rumah tahanan (rutan) KPK di gedung KPK lama.
Saksi Hasto Kristiyanto memberikan keterangan dari ruang kerjanya. Sedangkan jaksa penuntut umum (JPU) KPK, majelis hakim dan sebagian penasihat hukum terdakwa berada di ruang sidang Pengadilan Tipikor Jakarta.
Mulanya, jaksa KPK membacakan isi Berita Acara Pemeriksaan (BAP) atas nama Hasto Kristiyanto nomor 33 yang mengakui ada percakapan via chat Whatsapp antara dirinya dan Saeful Bahri pada 3 Desember 2019. Percakapan itu berkaitan dengan kalimat 'OK sip' dari Hasto kepada Saeful.
“BAP 33 penyampaian terdakwa kepada saksi. 'Izin lapor mas, Donny (Donny Tri Istiqomah, penasihat hukum PDI P,-red) berhasil menekuk kelompoknya Tuedi. Jagoan kita menang di kongres'. 'Izin mas, terkait Pak Harun kewenangan pemecatan Riezky (Aprilia,-red) dan sebagainya'. Ini maksudnya bagaimana?” tanya jaksa KPK, kepada Hasto.
Baca: Usai Hadiri Resepsi Pernikahan di Jakarta, Ibu Rumah Tangga asal Grobogan Positif Corona
Baca: Cara Menggunakan Aplikasi PeduliLindungi, Bisa Diakses via Android & iOS
Baca: UEFA Berencana Gelar Final Liga Eropa dan Liga Champions Bulan Agustus
Hasto menjelaskan kalimat OK sip itu berawal dari Saeful yang mengusulkan menetapkan caleg Harun Masiku sebagai caleg anggota DPR terpilih dengan memberhentikan caleg terpilih Riezky Aprillia.
“Dari sini terdakwa mengusulkan penetapan Harun (Masiku,-red) bisa dilakukan dengan pemecatan saudara Riezky. Tetapi, saya hanya baca dan tidak memberikan atensi. Maka, saya hanya mengatakan Ok Sip,” kata Hasto.
Hasto mengaku dirinya tidak memberikan arahan atau atensi apapun atas kalimat 'OK sip' itu kepada Saeful meski dirinya menjabat sebagai Sekjen PDIP.
Sebab, ia mengaku tidak berwenang memecat Riezky Aprilia selalu caleg terpilih.
“Beda, karena secara teknis memang menjadi kewenangan bidang hukum. Jadi, saya jawab Ok Sip,” ungkap Hasto.
Jaksa KPK juga mengonfirmasi Hasto soal percakapan via Whatsapp dengan Saeful Bahri pada 16 Desember 2019, khususnya maksud kalimat 'DP penghijauan'.
"Apakah saudara pernah berkomunikasi via WA dengan terdakwa tanggal 16 Desember 2019, ada kata-kata dari saudara 'tadi ada 600, yang 200 dipakai untuk DP penghijauan dulu,' benar tidak?" tanya jaksa ke Hasto.
Hasto membenarkan isi percakapan itu. Hasto mengatakan, DP penghijauan yang ia maksud adalah down payment atau uang muka untuk pembangunan vertical garden di Kantor DPP PDI-P untuk memperingati HUT PDI-P dan hari menanam pohon sedunia.
Hasto menuturkan, angka 600 dan 200 yang dimaksud dalam percakapan itu adalah alokasi anggaran senilai Rp600 juta dan Rp200 juta untuk pembangunan vertical garden di kantor DPP PDIP di Jakarta.
"Saat itu saya merencanakan ada anggaran sebesar Rp600 juta rupiah di kantor partai kami buat sekitar 5 vertikal garden. Saya tawarkan Saeful untuk membantu itu, ada alokasi 600 dan 200 sebagai downpayment," kata Hasto.
Namun, vertical garden itu tak kunjung terwujud karena PDIP dihebohkan dengan operasi tangkap tangan (OTT) Saeful Bahri dan kawan-kawan yang merupakan kader partai itu.
Dalam surat dakwaan Saeful, sehari setelah percakapan di atas, pada 17 Desember 2019, Saeful diketahui menerima uang Rp400 juta dari Harun Masiku yang akan diserahkan ke Wahyu Setiawan.
Saeful Bahri didakwa bersama-sama caleg PDIP Harun Masiku telah memberikan uang suap secara bertahap sejumlah 57.350 dolar Singapura atau setara Rp600 juta kepada Wahyu Setiawan selaku komisioner KPU 2017-2022.
Suap diberikan secara bertahap melalui Agustiani Tio Fridelina Sitorus, mantan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sekaligus caleg PDIP dari Dapil Jambi dan orang kepercayaan Wahyu Setiawan.
Suap diberikan untuk membantu caleg dari Dapil Sumatera Selatan 1 Harun Masiku menjadi anggota DPR periode 2019-2024 menggantikan rekan separtainya, Riezky Aprillia, melalui proses PAW.
Selain soal DP Penghijauan, jaksa KPK juga menanyakan Hasto tentang maksud angka nominal 850 dalam percakapan chat Whatsapp dengan Saeful Bahri pada 23 Desember 2019.
Dalam chat itu, Saeful Bahri mengabarkan Hasto soal angka 850 terkait Harun Masiku. "Ada penyampaian dari terdakwa ini bahwa 'Pak Harun ini geser 850'. Ada penyampaian ini saksi?" tanya jaksa.
Hasto megaku tidak ingat dengan percakapan itu. Ia mengaku bersikap pasif selama berkomunikasi dengan Saeful setelah ia menegur Saeful yang sempat meminta uang ke Harun untuk operasional permohonan PAW Harun.
"Sehingga ketika ada wa dari saudara terdakwa saya hanya menjawab 'ok sip' artinya saya membaca tapi saya tidak menaruuh atensi terkait hal tersebut," jawab Hasto.
Dalam surat dakwaan, diketahui bahwa tiga hari setelah percakapan tersebut, pada 26 Desember 2019, Harun meminta Saeful mengambil uang Rp 850 juta dari seorang bernama Patrick Gerard Masoko.
Uang itu kemudian dibagi ke Donny Tri Istiqomah, Agutiani Tio Fridellina, dan ditukarkan ke pecahan Dolar Singapura untuk nantinya diberikan ke Wahyu.
Di samping itu, jaksa mengungkap bahwa Hasto beberapa kali menjawab 'ok sip' dalam percakapannya dengan Saeful.
Salah satunya pada 3 Desember 2019 saat Saeful membicarakan pemecatan terhadap Riezky Aprilia, anggota DPR dari PDI-P yang hendak digantikan oleh Harun.
"Ini ada penyampaian oleh terdakwa kepada saksi, 'izin lapor mas, Donny berhasil nekuk kelompoknya Tuedi, jagoan kita menang di kongres, izin mas, terkait Pak Harun kata Donny kewenangan pemecatan Riezky tuh adanya dan sebagainya' ini maksudnya bagaimana ini?" tanya jaksa.
Hasto menjelaskan, pembicaraan itu membahas penetapan Harun sebagai anggota DPR dapat dilakukan dengan memecat Riezky.
Namun, Hasto kembali menyebut jawaban 'ok sip' kepada Saeful saat itu menandakan ia tidak memberi atensi. "Sekali lagi saya hanya membaca dan tidak memberikan atensi maka saya jawab ok sip," kata Hasto.
Hasto mengenakan kemeja hitam dan bermasker saat memberikan kesaksian persidangan via telekonferensi video tersebut.
Setelah Hasto Kristiyanto memberikan kesaksian, jaksa KPK menghadirkan saksi lainnya, yakni sopir Saeful Bahri bernama Ilham Yulianto. Yang membedakan, saksi Ilham Yulianto memberikan kesaksian dengan hadir di ruang persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta.
Akui Temui Wahyu
Dalam persidangan, Hasto juga mengakui soal pertemuannya dengan komisioner KPU Wahyu Setiawan di kantor KPU, Jakarta, saat rekapitulasi suara Pemilu 2019.
Namun, dia membantah dalam saat bertemu Wahyu itu membahas soal keinginan PDIP memasukkan caleg Harun Masiku sebagai PAW menggantikan caleg Nazaruddin Kiemas yang meninggal dunia. "Tidak pernah sampaikan hal tersebut pada Wahyu," ujar Hasto.
Hasto mengaku tidak mengenal dekat Wahyu Setiawan. Pertemuannya dengan Wahyu saat sebatas hubungan antara perwakilan partai politik dan penyelenggara pemilu.
"Saya tidak kenal secara pribadi. Kenal sebagai komisioner KPU melalui acara yang diselenggarakan KPU atas undangan KPU," kata Hasto, Kamis (16/4/2020).
Hasto mengakui sebenarnya dirinya selaku perwakilan partai politik sempat beberapa kali mendatangi kantor KPU. Namun, kedatangannya sebatas menghadiri tahapan penyelenggaraan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019. "Saat (PDI P,-red) dinyatakan sebagai peserta pemilu. Tahapan Pileg 2019," kata dia.
Hal ini ditanyakan jaksa KPK karena dalam persidangan Senin 13 April 2020, sakso Rahmat Setiawan selaku ajudan komisioner KPU Wahyu Setiawan mengungkapkan Hasto pernah bertemu dengan Wahyu di ruang kerja di kantor KPU RI di Jalan Imam Bonjol, Jakarta Pusat. Pertemuan itu terjadi sewaktu rekapitulasi penghitungan suara Pemilu 2019.
Namun, Wahyu tidak mengetahui isi pembicaraan kedua orang itu karena berada di luar ruang kerja Wahyu.
“Seingat saya, kalau tidak salah sekali itu di ruangan. Makan siang. Istirahat. Merokok. Biasa bapak kan merokok,” tutur Rahmat saat memberikan kesaksian pada persidangan sebelumnya. (Tribun network/gle/kompas.com)