Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk terus mengusut kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (SKL BLBI).
Termasuk dengan meminta bantuan otoritas Singapura untuk memburu dan menangkap pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim yang menjadi buronan atas kasus korupsi yang merugikan keuangan negara hingga Rp 4,58 triliun tersebut.
"KPK bisa cepat bertindak menghubungi otoritas penegak hukum di Singapura untuk melakukan berbagai tindakan, misalnya upaya paksa berupa penangkapan karena kerugian keuangan negaranya Rp 4,58 triliun," kata Peneliti ICW Kurnia Ramadhana dalam diskusi melalui layanan konferensi video, Minggu (19/4/2020).
Baca: Uji Materi Perppu Kebijakan Keuangan, MAKI: Jangan Sampai Skandal BLBI dan Century Terulang
Menurutnya KPK tidak perlu menunggu putusan Peninjauan Kembali (PK) mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung yang divonis lepas dalam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA).
Ditegaskan Kurnia, bukti-bukti yang dimiliki KPK sudah kuat terkait adanya dugaab korupsi dalam pemberian SKL BLBI kepada Sjamsul.
Untuk itu, Sjamsul dan Itjih seharusnya dapat dibawa KPK ke ruang persidangan untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Baca: Penasihat Hukum Arsyad Temenggung Sebut Jaksa KPK Tak Punya Legal Standing Ajukan Peninjauan Kembali
"Tidak ada masalah dalam pandangan kita. Walaupun putusan Syafruddin itu lepas, tidak ada kendala sama sekali untuk KPK menyidik kasus Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Jangan sampai justru langkah KPK menyerah dengan menggunakan metode [persidangan] in absentia terhadap Sjamsul ataupun Itjih," ujarnya..
Kurnia menagih janji pimpinan KPK jilid V untuk menuntaskan kasus mega korupsi ini.
Apalagi, kata Kurnia, KPK diburu waktu menuntaskan kasus BLBI lantaran masa daluarsa kasus ini jatuh pada 2022 atau 18 tahun sejak SKL BLBI diterbitkan BPPN pada 2004 yang menjadi tempus delicti atau waktu terjadinya suatu tindak pidana.
Baca: Jaksa KPK Hadirkan Ahli Pidana dalam Sidang Peninjauan Kembali Atas Putusan Kasasi Arsyad Temenggung
"Harus diingat BLBI ini ada daluarsanya. Jadi urgensi semakin tinggi untuk KPK segera mengungkap kasus ini," jelasnya.
Diketahui, KPK telah menetapkan Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim sebagai sebagai daftar pencarian orang (DPO) atau buronan terkait kasus dugaan korupsi penerbitan SKL BLBI yang menjerat pasangan suami istri itu sebagai tersangka.
Lembaga antirasuah itu telah mengirimkan surat kepada Kapolri dan jajarannya terkait status Sjamsul sebagai DPO.
Dalam surat itu, KPK juga meminta jajaran Kepolisian membantu mencari Sjamsul dan Itjih.
Dalam kasus yang sama, Majelis Hakim Kasasi MA mengabulkan permohonan Kasasi Syafruddin.
Dalam amar putusannya yang dibacakan pada 9 Juli lalu itu, Majelis Hakim Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang menjatuhkan hukuman 15 tahun pidana penjara dan denda Rp1 miliar subsider 3 bulan kurungan terhadap Syafruddin.
Majelis Hakim Agung menyatakan terdakwa Syafruddin terbukti melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, akan tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana.
Dengan demikian, Majelis Hakim Agung menyatakan melepaskan terdakwa Syafruddin dari segala tuntutan hukum dan memerintahkan agar Syafruddin dikeluarkan dari tahanan.
Hakim Ketua Salman Luthan sependapat dengan putusan Pengadilan tingkat pertama dan tingkat kedua yang menyatakan perbuatan Syafruddin merupakan tindak pidana korupsi.
Sementara Hakim Anggota Syamsul Rakan Chaniago berpendapat perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum perdata, sedangkan Hakim Anggota M. Askin menyatakan perbuatan Syafruddin merupakan perbuatan hukum administrasi.
Kurnia menegaskan, bukti-bukti yang dimiliki KPK telah tegas menyatakan adanya tindak pidana yang dilakukan Syafruddin.
Bukti-bukti tersebut setidaknya telah diuji dari Pengadilan tingkat pertama hingga tingkat banding yang menjatuhkan hukuman 15 tahun pidana terhadap Syafruddin.
Selain itu, Badan Pengawas MA telah menjatuhkan sanksi etik kepada Hakim ad hoc tindak pidana korupsi Syamsul Rakan Chaniago karena bertemu dengan kuasa hukum Syafruddin, Ahmad Yani saat sedang menangani Kasasi Syafruddin.
Kurnia menegaskan, perdebatan mengenai perkara ini masuk ranah pidana, perdata atau administrasi sebenarnya sudah selesai dengan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang menolak praperadilan Syafruddin dan memerintahkan KPK melanjutkan penanganan perkara ini.
"Kami mengharapkan putusan PK menganulir putusan Kasasi lepas Syafruddin Arsyad Temenggung karena bukti-bukti yang sudah disampaikan KPK baik itu di tingkat pertama, banding ataupun kasasi itu sudah benar-benar firm. Syafruddin memang melakukan perbuatan melawan hukum ketika menerbitkan SKL kepada Sjamsul," kata Kurnia.