Laporan Wartawan Tribunnews.com, Ilham Rian Pratama
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan diskusi daring dengan tim ahli Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), Senin (27/4/2020).
Tim ahli meminta masukan tentang hasil kajian KPK terkait modus-modus pungli atau suap serta peta rawan korupsi di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, khususnya di sektor pelayanan publik dan Sumber Daya Alam (SDA).
Tim ahli Satgas Saber Pungli yang terlibat dalam diskusi daring yaitu Ketua Tim Ahli Satgas Saber Pungli yang juga mantan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Rhenald Kasali, Sosiolog Universitas Indonesia Imam B Prasodjo, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari. Mereka baru saja dilantik oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Mahfud MD, pada 22 April 2020 lalu.
Baca: 2.000 Masker dari Cardinal dan Tribunnews untuk Petugas PT KCI di Stasiun
Baca: Viral karena Fotonya Ada di Berbagai Barang Bantuan, Ini Profil Bupati Klaten Sri Mulyani
Baca: Rilis Single Religi, Ekoda Ingin Sampaikan Nikmatnya Puasa Meski di Rumah Saja
Plt Juru Bicara Bidang Pencegahan KPK Ipi Maryati Kuding mengatakan, pembicaraan dengan KPK merupakan bagian dari agenda tim ahli menyusun rencana kerja.
Dalam diskusi tersebut, KPK menyampaikan bahwa pada masa-masa awal KPK berdiri, pungli atau suap banyak ditemukan pada front office layanan. Seiring upaya pembenahan sistem dan implementasi kebijakan reformasi birokrasi, pungli atau suap front office perlahan-lahan berkurang.
"Namun di sisi lain, KPK menemukan bahwa pungli atau suap kemudian berubah modus dan terjadi di belakang layar atau pada back office layanan publik, termasuk pada layanan publik perizinan," ujar Ipi lewat keterangan tertulis, Selasa (28/4/2020).
Sejak berdiri, Ipi mengatakan, KPK telah melakukan berbagai kajian mengenai perizinan. KPK menemukan bahwa tahapan-tahapan dalam bisnis proses sistem perizinan rentan terjadi korupsi.
Kerentanan tersebut berakibat pada melemahnya pengendalian dalam perizinan dan tidak terpungutnya secara maksimal penerimaan negara seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Di sisi lain, biaya sosial bagi masyarakat meningkat. Pembenahan sistem perizinan tidak hanya terkait dengan regulasi, tetapi juga persoalan kelembagaan layanan perizinan, infrastruktur sistem, termasuk juga etika birokrasi," kata Ipi.
Berdasarkan sejumlah hasil kajian tersebut, Ipi menerangkan, KPK telah menyampaikan rekomendasi yang diikuti dengan rencana aksi perbaikan untuk melakukan pembenahan pada sektor perizinan dan pelayanan publik. Perbaikan meliputi berbagai aspek kelembagaan, tata laksana maupun regulasi.
Di antaranya adalah pertama, agar pemerintah menyusun standar dalam pelayanan publik dan menerapkan UU Pelayanan Publik secara penuh dan konsisten.
"Layanan publik yang diterapkan di pusat maupun di daerah harus memiliki standar pelayanan minimal yang bisa diukur, yaitu ada standar pelayanan, biaya, kualitas, juga standar mekanisme pengaduan," kata dia.
Baca: Beli Saham Bisnis UKM di Layanan Urun Dana Ini akan Resmi Tercatat di KSEI
Baca: Rilis Single Religi, Ekoda Ingin Sampaikan Nikmatnya Puasa Meski di Rumah Saja
Ipi mencontohkan, terkait penetapan batas waktu pengurusan pelayanan publik, sehingga memudahkan pemerintah untuk mengukur kinerja pelayanan publik dan melakukan evaluasi secara periodik maupun insidentil.
Kedua, imbuhnya, menciptakan budaya pelayanan (service delivery culture). Budaya pelayanan adalah budaya yang berorientasi pada pelayanan masyarakat.
"Sehingga perlu mendorong perubahan paradigma aparatur negara sebagai pelayan, bukan sebagai pemerintah dalam pengertian yang sempit," ujar dia.
Kata Ipi, hal ini diperlukan untuk memastikan sendi-sendi penyelenggaraan negara berjalan dengan arah dan tujuan yang jelas sebagaimana amanat konstitusi untuk mensejahterakan rakyat.
Ketiga, mengembangkan sistem layanan, baik perizinan maupun non-perizinan yang terpadu dan saling terhubung. Sehingga memperkuat dimensi pengendalian dalam penyelenggaraan urusan layanan publik.
"Sistem pengendalian tersebut selanjutnya dapat dikembangkan sebagai bagian dari mekanisme stick and carrot bagi pengguna layanan, maupun sistem referensi untuk menilai kewajaran penerimaan negara," ujar Ipi.
Dalam diskusi yang berkembang, Ipi menambahkan, KPK juga menyampaikan tentang peta kerawanan korupsi. KPK melakukan pemetaan terhadap risiko dan kerawanan korupsi dengan menggunakan instrumen salah satunya Survei Penilaian Integritas (SPI).
Survei ini telah dilaksanakan KPK secara regular setiap tahun sejak tahun 2006 dengan bekerja sama kepada Badan Pusat Statistik (BPS). Melalui survei ini, KPK memetakan risiko korupsi yang dapat terjadi pada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.