Laporan Wartawan Tribunnews.com, Gita Irawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo mengatakan pihaknya akan proaktif terhadap kasus dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) ABK WNI di Kapal Long Xin 605.
Ia mengatakan pihaknya siap bekerja sama dengan pihak Kementerian Luar Negeri dan Kepolisian untuk memberikan perlindungan kepada ABK WNI mulai dari proses pemulangannya ke tanah air hingga pendampingan proses hukumnya nanti.
Baca: Menlu Ceritakan Kronologi ABK WNI di Kapal Long Xin 605 dan Tian Yu 8 di Korea Selatan
“Sebagai langkah awal, LPSK akan turut serta menjemput sejumlah ABK yang pulang ke Indonesia, besok Jumat (8/5/2020) ke bandara,” kata Hasto dalam keterangan resmi LPSK pada Kamis (7/5/2020).
Hasto juga menyampaikan keprihatinan mendalam atas tragedi perbudakan modern yang dialami sejumlah ABK asal Indonesia di kapal penangkap ikan berbendera China tersebut.
Hasto mengatakan, pihaknya sudah beberapa kali menerima permohonan perlindungan untuk korban TPPO yang peristiwanya mirip dengan kasus yang dialami oleh 18 ABK kapal China.
Salah satunya adalah kasus perbudakan di Benjina, Maluku yang terjadi pada medio 2015 lalu yang juga ditangani oleh LPSK dan sempat menyita perhatian publik, bahkan hingga di luar negeri.
"Tragedi yang dialami oleh 18 ABK di kapal China seperti yang banyak diberitakan media itu jelas menunjukan adanya indikasi Tindak Pidana Perdagangan Orang," kata Hasto.
Untuk itu, Hasto berharap agar pihak kepolisian untuk menulusuri pihak atau perusahaan yang melakukan perekrutan dan menyalurkan para ABK ke kapal China tersebut, serta mengambil tindakan tegas bila terbukti adanya pelanggaran pidana.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan kasus TPPO yang menyasar ABK bukan kali pertama terjadi.
Selain kasus Benjina, LPSK juga mencatat kasus TPPO yang peristiwanya mirip dengan apa yang terjadi dengan ABK di kapal Long Xin diantaranya kasus di Jepang, Somalia, Korea Selatan dan Belanda.
Menurut catatan akhir tahun LPSK 2019, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menempati posisi empat besar setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme dan pelanggaran HAM berat.
“Pada tahun 2018, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO berjumlah 109, sedangkan di tahun 2019 naik menjadi 162 permohonan. Sedangkan ihwal jumlah terlindung, pada 2018 terdapat 186 terlindung kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung di tahun 2019” kata Edwin.