Kondisi ini berbanding terbalik dengan Keputusan Menteri 50/1992 yang menunjukkan UMR Jawa Timur adalah Rp 2.250.
Marsinah yang terkenal vokal kemudian berunjuk rasa menuntut kenaikan upah pada 4 Mei 1993.
Ia tampil dengan sederet argumentasi yang merepotkan pimpinannya.
Bahkan, Marsinah lantang menentang permintaan Direktur PT CPS agar pekerja itu bekerja seperti biasanya.
Dia bersama teman-temannya melakukan aksi mogok kerja.
Baca: Soal THR Karyawan/Buruh, Pengusaha Diimbau Tak Manfaatkan Pandemi Covid-19 Sebagai Alasan
"Tak usah kerja," salah satu kata yang terucap dari Marsinah ketika unjuk rasa.
Melihat aksi Marsinah, pimpinan perusahaan membuat rencana untuk menghilangkan nyawanya.
Untuk mempermudah konspirasi jahat itu, diketahui ada serangkaian rapat yang dilakukan.
Pihak perusahaan menilai Marsinah terlalu vokal dan menjadi biang aksi unjuk rasa.
Dikutip Kompas.com dari Harian Kompas yang terbit pada 19 November 1993, rapat dilaksanakan di ruang ukuran 8 x 8 meter tempat kerja direktur CPS cabang Porong.
Rapat dilaksanakan pada 5 Mei 1993 dihadiri beberapa orang petinggi dan satpam perusahaan.
Pihak direktur CPS merencanakan pembunuhan kepada Marsinah dan direktur juga mengancam peserta yang datang untuk rapat itu untuk tutup mulut dan melaksanakan perintahnya.
Apabila rencana itu tak dilaksanakan, pihak direktur akan memberikan pemutusan hubungan kerja kepada yang bersangkutan.
Untuk menindaklanjuti perintah direktur utama PT CPS pada rapat pertama, kemudian dilangsungkan rapat kedua di tempat sama, yang dipimpin direktur PT CPS cabang Porong.