News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Setara Institute Kritik Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme

Penulis: Vincentius Jyestha Candraditya
Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ketua SETARA Institute, Hendardi usai menghadiri sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta, Sabtu (26/5/2018)

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) tentang tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme yang dikirim Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly ke DPR RI, pada 4 Mei 2020 untuk memperoleh persetujuan DPR, adalah mandat Pasal 43I ayat 1,2, dan 3, yang pada intinya menyebutkan bahwa tugas TNI dalam mengatasi aksi terorisme merupakan bagian dari operasi militer selain perang, yang detailnya kemudian didelegasikan untuk diatur dalam Perpres.

"Sebagai sebuah regulasi turunan dari Pasal 43I, maka penyusunan RPrespres tidak boleh melampaui ketentuan yang secara tegas diatur dalam Pasal 43I yang merupakan dasar hukum Perpres tersebut," ujar Ketua SETARA Institute, Hendardi, dalam keterangannya, Senin (11/5/2020).

Mengacu pada Pasal 43I, menurut Hendardi, maka yang seharusnya disusun oleh pemerintah dalam menerjemahkan mandat delegasi dari norma tersebut adalah menyusun kriteria dan skala ancaman, jenis-jenis terorisme, teritori tindak pidana terorisme, prosedur-prosedur pelibatan, termasuk mekanisme perbantuan terhadap Polri, dan akuntabilitas pelibatan TNI dalam penanganan aksi terorisme.

"Karena tidak ada mekanisme tanggung gugat atas anggota TNI, ketika melakukan tindak yang melanggar hukum," katanya.

Di luar lingkup di atas, kata dia, RPerpres yang disusun adalah baseless alias tidak
memiliki dasar hukum.

"Dari draft yang beredar, RPrespres yang disusun pemerintah justru keluar jalur dan melampaui substansi norma pada Pasal 43I tersebut," ujarnya.

Dijelaskan bahwa apa yang disajikan dalam RPerpres tersebut merupakan
gambaran nafsu TNI untuk merengkuh kewenangan baru yang melanggar Konstitusi (Pasal 30 ayat (4) UUD Negara RI 1945), bahwa TNI adalah alat pertahanan yang melakukan operasi militer perang dan operasi militer selain perang yang hanya bisa dijalankan atas dasar kehendak politik negara (Pasal 7 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI). Artinya, pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang harus berdasar pada Keputusan Presiden yang dikonsultasikan dengan DPR.

"Sementara, RPerpres yang disusun pemerintah justru mengukuhkan peran TNI secara permanen dengan memberi tugas TNI memberantas terorisme secara berkelanjutan, dari hulu ke hilir, di luar kerangka criminal justice system, dengan pendekatan operasi teritorial, dan memberikan justifikasi pada penggunaan anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) yang merupakan dana penyelenggaraan otonomi daerah," ujarnya.

Draft Perpres juga, lanjut Hendardi, mengikis kewenangan konsultatif DPR dan
kewenangan Presiden untuk mengeluarkan Keputusan Presiden terkait pelibatan TNI dalam operasi militer selain perang.

"Cara penyelundupan hukum yang diadopsi dalam RPerpres adalah mengancam supremasi Konstitusi, mengikis integritas hukum nasional dan mengancam kebebasan sipil warga," katanya.

RPerpres juga, menurut Hendardi, berpotensi men-sabotase tugas-tugas yang selama ini dijalankan oleh Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) yang merupakan leading sector dalam pencegahan dan pemulihan atau deradikalisasi dan merusak pemberantasan terorisme dalam kerangka sistem peradilan pidana, yang selama ini dijalankan oleh Polri.

Sebagai gambaran, salah satu tugas TNI yang digambarkan dalam RPerpres tersebut adalah pelaksanaan operasi teritorial dalam rangka penangkalan, sebagaimana diatur pada Pasal 4 ayat (2) berupa pembinaan ketahanan wilayah, bantuan kemanusiaan dan bantuan sosial fisik/non fisik, serta komunikasi sosial.

"Selain tidak dikenal istilah penangkalan, rumusan operasi teritorial ini menjadi ancaman baru bagi kebebasan sipil warga. Rumusan model ini hanya menggambarkan kehendak memupuk anggaran dan mengokohkan kembali supremasi militer dalam kehidupan sipil," katanya.

Menurut Hendardi, atas dasar itu, DPR dan Presiden Jokowi harus menolak RPerpres ini, apalagi dibahas di tengah Pandemi Covid-19, yang nyaris mempersempit ruang komunikasi publik dan komunikasi politik yang sehat.

"Memaksa mengesahkan RPerpres dengan rumusan sebagaimana draft yang beredar, DPR dan Presiden Jokowi dapat dikualifikasi melanggar UU dan melanggar Konstitusi," ujarnya. 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini