Saking seringnya meminta bantuan dari teman-temannya untuk disalurkan kepada warga, Geisz sampai disebut pemalak.
"Udahlah sekarang waktunya tidak mengeluarkan zakat 2,5 persen"
"Sekarang waktunya kita mengeluarkan zakat itu 25 persen kalau perlu 50 persen, karena kondisi kita sedemikian rupa," jelas Geisz menyoroti kondisi masyarakat saat ini.
"Jangan lagi berhitung-hitung dalam keadaan seperti ini, toh pada saat kita meninggal tidak bawa apa-apa kok," tegasnya.
Dia dan rekan-rekannya juga bekerjasama dengan beberapa organisasi atau komunitas yang bisa menyediakan bantuan bagi masyarakat.
Sayangnya, Geisz menilai para pejabat justu menjadikan momen pandemi ini sebagai panggung di pemerintahan.
"Situasinya memang sangat berbahaya untuk masyarakat, dan itu yang kita lakukan di bawah."
"Tapi di atas jadi panggung, nggak normal," ujarnya.
Bahkan dia mengaku rindu dengan pemerintahan Presiden kedua RI, Soeharto.
Menurutnya, zaman itu para menteri dan pemerintah selalu satu suara sehingga tidak membingungkan publik.
"Soeharto itu, Moerdiono itu kalau bicara hati-hati kalem sampai kita bisa mendengarnya, tapi semua menteri sama suaranya, nggak beda," terang Geisz.
"Harmoko kita juluki, mohon maaf dengan segala hormat semoga diampuni segala dosanya dan damai di alam sana (Moerdiono), dengan Pak Harmoko waktu itu kita menyatakannya adalah hari-hari omong kosong."
"Tapi dia bilang harga bawang per-kilo 500 di TV, kita temui di pasar Rp 500 nggak berubah dan semua menteri sama," lanjutnya.
Baca: Ridwan Kamil Beberkan Penyebab Data Penerima Bantuan di Jawa Barat Melonjak saat Pandemi Corona
Baca: Anies Baswedan Bingung pada Sikap Pemerintah, Ungkap Data Covid-19 yang Disembunyikan dari Awal
Sayangnya, menurut Geisz, para pejabat di pemerintahan saat ini saling menyalahkan sehingga menjadikan segregasi di antaranya.