Selain itu, pemohon melihat dalam norma itu tidak mencerminkan negara hukum yang dianut Indonesia sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 karena frasa yang ada pada UU Senjata Api rumit dan bersifat multitafsir.
Padahal sebuah norma hendaknya memenuhi ketentuan bahasa yang mudah dimengerti dan menggunakan tata bahasa Indonesia yang benar.
Dengan tidak adanya ukuran minimum dan maksimum terhadap seseorang seperti pada frasa ‘membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, memyembunyikan, mempergunakan’ dalam pasal tersebut, maka pemahaman yang dilakukan Penyidik dan Penuntut Umum terhadap Pemohon tersebut tidaklah berdasarkan hukum.
Selain itu, pemohon juga menilai pasal itu bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) terutama berkaitan dengan perlakuan diskriminatif yang dialami Pemohon dalam vonis pada beberapa nomor perkara yang terkait dengan kepemilikan senjata dan peluru ilegal yang dijatuhkan padanya.
Diskriminasi ini ditemui Pemohon saat salah seorang terdakwa yang memiliki senjata dapat dilepaskan.
Sedangkan dirinya yang tidak pernah melakukan tuduhan yang dimaksudkan tersebut tetap harus menjalankan proses hukum sebagaimana yang disangkakan.
Untuk itu, Pemohon memohonkan agar Mahkamah memutus setidaknya menyatakan:
“tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atau membatalkan terutama terhadap frasa dengan tanda koma (,), frasa ‘…atau…’, frasa ’… yang tanpa hak memasukkan ke Indonesia membuat…’ dan ‘… mencoba memperoleh…’” pada UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951 tersebut.
Baca: Detik-detik Bandar Sabu Ditembak Mati, Tersangka Sempat Meraih Senjata Api yang Disimpannya
Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendakwa Kivlan Zen atas kepemilikan senjata api (Senjata Api) ilegal dan peluru tajam.
Atas perbuatan itu, Kivlan didakwa dan diancam pidana dalam pasal 1 ayat (1) UU Nomor 12/drt/1951 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.