TRIBUNNEWS.COM - Revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) telah disahkan DPR dalam rapat paripurna, Selasa (12/5/2020) menjadi undang-undang.
RUU Minerba ini mulai disusun sejak 2015 lalu.
Kemudian proses pembahasannya dimulai sejak 13 Februari 2020.
Namun jangka pembahasan intensif terjadi selama tiga bulan, mulai 17 Februari hingga 6 Mei lalu.
Ketua Komisi VII DPR Sugeng Supartowo mengatakan kini RUU Minerba telah disinkronisasi dengan omnibus law RUU Cipta Kerja.
Sejumlah perubahan yang terjadi pada RUU ini meliputi kewenangan pengelolaan pertambangan minerba, penyesuaian nomenklatur perizinan, dan kebijakan divestasi saham.
"RUU Minerba telah disinkronkan dengan RUU cipta kerja sesuai dengan keinginan pemerintah," kata Sugeng dikutip dari Kompas.
Menurut analis senior, Praska Putranto pada tayangan CNBC Rabu (13/5/2020), UU Minerba memiliki dua sisi dampak bagi emiten pertambangan.
"Memang secara kemudahan untuk perizinan di sini jadi lebih fleksibel ya," kata Praska.
"Dimana tadi yang lebih ke arah pendaftar-pendaftar secara dua kali menjadi cukup sekali."
"Artinya secara global persaingan di industri pertambangan, minerba ini semakin meningkat di tengah fleksibilitas untuk mendapatkan izin tersebut," jelasnya.
Baca: Ketua DPD RI: Tidak Benar RUU Minerba Cacat Hukum
Baca: Fraksi Demokrat Juga Keluar dari Pembahasan RUU Minerba dan RUU Haluan Ideologi Pancasila
Bahkan kini pemegang usaha bisa memiliki lebih dari satu izin usaha pertambangan.
Bagi Praska ini akan berdampak pada persaingan yang meningkat di antara emiten pertambangan.
"Yang mana menurut saya ini akan meningkatkan daya saing dari dalam industri pertambangan mineral dan batu bara tersebut," katanya.
"Meskipun secara jangka panjang ini menjadi kabar baik bagi (usaha pertambangan) artinya membuka keran, namun secara kompetisi membuat saham-saham emiten pertambangan ini menjadi terkoreksi karena ini berpotensi meningkatkan suplai begitu," lanjut Praska.
Ditanya tentang sesuai tidaknya dengan harapan emiten pertambangan, Praska menilai kemudahan izin usaha meningkatkan sentimen negatif.
"Kalau dari segi harapan ya, dampaknya menimbulkan suplai yang meningkat ya karena semakin mudahnya untuk melakukan izin usaha pertambangan tentu saja menjadi sentimen negatif, dikarenakan harga komoditas sendiri belum mengalami peningkatan yang cukup signifikan di pasar internasional, sentimen masih lambat di tengah pandemi corona ini," terang Praska.
Pengesahan RUU Minerba di tengah krisis kesehatan ini mendapat sorotan publik karena undang-undang ini dianggap memudahkan pelaku industri batubara.
Tetapi negatifnya tidak mengindahkan dampaknya pada lingkungan serta masyarakat di sekitarnya.
"Penambahan, penghapusan dan pengubahan pasal hanya berkaitan dengan kewenangan dan pengusahaan perizinan, namun tidak secuil pun mengakomodasi kepentingan dari dampak industri pertambangan dan kepentingan rakyat di daerah tambang, masyarakat adat dan perempuan," kata Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Merah Johansyah pada Senin (11/5/2020).
Menurutnya pembahasan RUU Minerba tidak didasarkan pertimbangan kerusakan yang selama ini terjadi di wilayah pertambangan minerba.
Baca: Tok! DPR RI Sahkan RUU Minerba Menjadi Undang-Undang
Baca: Perppu Corona dan RUU Minerba Diputuskan Hari Ini Melalui Rapat Paripurna DPR
Merah juga menilai RUU Minerba mengandung sejumlah pasal bermasalah.
Salah satunya Pasal 169A yang membahas jaminan perpanjangan Kontrak Karya (KK) atau atau Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tanpa pelelangan.
"Perpanjangan otomatis bagi pemegang izin PKP2B tanpa pengurangan luas wilayah dan lelang yang merupakan fasilitas yang ditunggu-tunggu oleh enam perusahaan raksasa batubara," ujar Merah.
Dia juga mempersoalkan penghapusan Pasal 165 yang meliputi sanksi bagi pihak yang mengeluarkan IUP, IPR atau IUPK yang bertentangan dengan UU Minerba.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani) (Kompas/Tsarina Maharani)