"Makanya kalau dari keuangan memang mereka dari Kementerian Keuangan mengatakan perhitungan itu juga sudah memperhitungkan terkait dengan ability to pay-nya hal dalam melakukan pembayaran," ujar Abetnego Tarigan kepada wartawan, Kamis, (14/5/2020).
Menurut Abetnego Tarigan pertimbangan menaikan iuran BPJS adalah masalah keberlanjutan BPJS itu sendiri.
Karena jangan sampai defisit BPJS yang terjadi selama ini menyebabkan pelayanan kesehatan kepada masyarakat terganggu.
Baca: Jokowi Naikkan Lagi Iuran BPJS Kesehatan, Pengamat Ekonomi: Jadi Kontroversial Saat Pandemi
"Jadi mungkin kita tahu di dalam konteks ini kalau dari sisi pemerintah itu, dimensi sustainability itu jadi penting. Jangan sampai artinya ini sekedar, ini opini saya, jangan sampai kita mempertahankan yang lama tapi terus ada keributan defisit, dibayar atau nggak yang akhirnya justru memperlambat kita di dalam proses-proses penyelesaian tanggung jawab kita ke RS sebagai contoh pelayanan kita," katanya.
Baca: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Saat Pandemi Corona Kian Sengsarakan Rakyat
Selain sudah mempertimbangkan kemampuan bayar masyarakat, angka kenaikan tarif dalam Perpres anyar juga sudah memperhitungkan kemampuan keberlanjutan BPJS itu sendiri.
Baca: Inilah Pertimbangan Pemerintah Kembali Naikkan Iuran BPJS Kesehatan
Untuk diketahui dengan terbitnya Perpres tersebut, Iuran peserta mandiri kelas I dari Rp 80 ribu naik menjadi Rp 150.000. Iuran peserta mandiri kelas II naik menjadi Rp 100.000, dari saat ini Rp 51.000.
Iuran peserta mandiri kelas III naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000.
Tetapi pemerintah memberikan subsidi Rp 16.500 sehingga jumlah yang dibayarkan tidak berubah.
Pada 2021 nanti subsidi pemerintah tersebut hanya Rp 7000 sehingga yang harus dibayarkan peserta Rp 35.000.
"Karena memang setelah dihitung kalau yang kami terima penjelasannya di dalam rapat rapat persiapan dulu, itu yang diinformasikan ke kami itu memang dengan angka segitu itu yang memang punya prospek sustainability, keberlanjutan," katanya.