Baik bagi masyarakat yang mampu maupun yang tidak mampu.
"Wujudnya itu berupa asuransi kesehatan yang dikelola BPJS, ini tujuan mulia sebenarnya."
"Karena biaya kesehatan, asuransi kesehatan sebenarnya tidak murah," ungkap Retno.
Baca: Iuran BPJS Kesehatan Naik Lagi, KPCDI Minta Iuran Kelas 3 Tidak Dinaikkan
Retno mencontohkan, bagaimana BPJS Kesehatan mampu meng-cover biaya pengobatan orang yang menderita penyakit berat sekalipun.
Menurutnya, biaya pengobatan yang mereka keluarkan lebih kecil dibandingkan dengan mereka harus membayar sendiri biaya pengobatan tanpa menggunakan BPJS Kesehatan.
"Itu benefit dari peserta yang membayar asuransi," kata Retno.
Meski demikian, Retno tak menampik soal moral hazard yang timbul dari layanan publik seperti BPJS Kesehatan.
Moral hazard yang dimaksud adalah saat peserta BPJS Kesehatan yang seharusnya membayar iuran, tapi tidak membayar dan hanya membayar saat dia membutuhkan layanan kesehatan.
"Bukan cerita luar biasa kalau kita mendengar dia nggak ikut BPJS, nggak membayar iuran tiba-tiba dia harus memperoleh layanan kesehatan."
Baca: Pemerintah: Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Berdasarkan Pertimbangan Ahli Independen
"Baru saat itu dia mendaftar, membayar iuran tapi begitu selesai dengan urusannya dia tidak membayar lagi, itu yang bisa dimasukkan ke dalam kategori moral hazard," paparnya.
Menurutnya, hal itu bisa terjadi karena adanya kesalahpahaman manajemen dari BPJS Kesehatan atau bisa juga kesalahpahaman komunikasi BPJS Kesehatan dengan aktor lainnya.
Yakni penyedia layanan kesehatan, rumah sakit serta para peserta itu sendiri.
"Jadi kalau kita bicara premi asuransinya naik, sebenarnya nilai yang segitu terlalu besar nggak to bagi para peserta?"
"Apakah masyarakat Indonesia sudah cukup mampu untuk membayar segitu, terutama yang kelas I dan II," katanya.
Menurutnya, kenaikan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas I dan II setimpal dengan fasilitas yang mereka dapatkan saat mereka memerlukan pelayanan kesehatan.