TRIBUNNEWS.COM - Kebijakan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan di tengah pandemi corona menimbulkan polemik.
Pasalnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) sempat menaikkan tarif iuran BPJS kesehatan pada 2019 lalu.
Ia menaikkan iuran tersebut melalui Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan.
Namun, pada akhir Februari 2020, Mahkamah Agung (MA) membatalkan kenaikan tersebut.
Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr Agus Riewanto SH SAg MAg, turut memberikan tanggapannya.
Agus menilai, langkah yang diambil Presiden Jokowi seakan tidak mempedulikan putusan MA.
Baca: Alasan Pemerintah Naikkan Kembali Iuran BPJS di Tengah Pandemi: Jaga Keberlanjutan Operasional
Padahal, dalam putusan MA, pemerintah seharusnya melakukan kajian kembali.
Hal ini dilakukan agar naikknya iuran BPJS Kesehatan dapat dibarengi dengan perbaikan-perbaikan.
"Dalam putusan MA mengatakan supaya pemerintah melakukan kajian lagi."
"Supaya dalam proses kenaikan itu harus dilakukan perbaikan-perbaikan."
"Tapi pemerintah tidak mempedulikan (putusan MA, red)," ujar Agus kepada Tribunnews, Rabu (13/5/2020).
Menurut Agus, ketidakpedulian ini bisa dikarenakan ranah untuk melakukan pembiayaan bidang kesehatan ada di tangan pemerintah.
Baca: Ahli Hukum Tata Negara Soroti Langkah Jokowi Naikkan Iuran BPJS Kesehatan: Anomali di Tengah Pandemi
Oleh karena itu, lanjut Agus, pemerintah merasa memiliki kewenangan untuk menaikkan iuran BPJS Kesehatan.
"Sehingga pemerintah Jokowi melihat apa yang diputuskan MA ini tetap dipatuhi."