Laporan Wartawan Tribunnews.com, Seno Tri Sulistiyono
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta menyoroti Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
Menurut Sudirta, sepanjang pelibatan TNI dalam penanggulangan terorisme sesuai dengan amanat Pasal 43I Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, maka semua pihak tidak perlu khawatir terhadap hal tersebut.
"Bagaimanapun juga, nyata di Indonesia bahwa terorisme sudah menjadi ancaman serius bagi kedaulatan bangsa dan negara," ujar Sudirta kepada wartawan, Jakarta, Senin (18/5/2020).
Ia menjelaskan, sesuai ketentuan undang-undang tersebut, pemerintah diberi waktu satu tahun melahirkan peraturan pelaksanaan.
Baca: Kapolda Sebut Pelaku Penyerangan Pos Polisi dan Perampasan Senjata Api di Paniai Warga Setempat
Sudirta menilai sudah seharusnya ada upaya untuk membuat suatu regulasi untuk melengkapi UU Nomor 5 Tahun 2018.
Sebab itu, kata Sudirta, kekhawatiran adanya tumpang tindih kewenangan dengan Polri dan BNPT dalam penanganan terorisme, tentu harus sesuai dengan ketentuan Pasal 7 Ayat 2 huruf b angka 3 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
Undang-undang itu mengatur tentang 14 Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang menjadi tugas pokok dan fungsi (tupoksi) TNI.
"Dalam angka 3 ketentuan tentang OMSP disebutkan bahwa tugas pokok selain perang bagi TNI adalah mengatasi aksi terorisme," ucap Sudirta.
Baca: Daftar Harga Terbaru HP Samsung di Bulan Mei 2020, Galaxy M21 hingga Galaxy A71
Agar tidak menimbulkan kekhawatiran dan polemik, Sudirta meminta Perpres yang akan diterbitkan nanti harus memperjelas tiga hal.
Pertama, pelibatan militer dalam penanggulangan terorisme merupakan pilihan terakhir, setelah instansi keamanan yang ada tidak cukup mampu untuk mengatasi terorisme, atau terkait misi keamanan warga negara Indonesia yang disandera teroris diluar negeri.
Seperti yang dilakukan pada pembebasan Pesawat Garuda di Bangkok pada tahun 1980-an, atau pembebasan sandera oleh teroris Abu Sayaf.
‘’Yang terpenting adalah mengatur jika eskalasi ancaman keamanan meningkat dan mengganggu kedaulatan negara, kemudian Presiden menetapkan status keadaan darurat militer,’’ ujar Sudirta.
Baca: Ini Cerita Lahirnya Tagar Indonesia Terserah, Dokter Covid-19: Kalian Tahu Kami Juga Manusia
Kedua, harus menekankan pengerahan kekuatan militer dalam OMSP, untuk mengatasi terorisme hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik presiden.
"Jadi Presiden sangat menentukan peran TNI dalam mengatasi terorisme, sehingga secara prinsip ini akan terkait dengan hak darurat yang dapat diambil Presiden," ucapnya.
"Konstitusi Indonesia mengatur staatnoodsrect dapat dilihat dalam dua aspek, yakni aspek obyektif dan aspek subyektif," sambung Sudirta.
Ketiga, kata Sudirta, pelibatan TNI pada intinya bersifat sementara dalam menangani terorisme.
"Selain itu, akuntabilitas hukum dalam menangani terorisme sama seperti polisi, di mana TNI harus tunduk pada mekanisme peradilan umum perihal pertanggungjawaban hukumnya, jika terjadi pelanggaran atau kesalahan," ujar politikus PDIP itu.