Menurut Allisa Wahid, dari posisi anak, alasan anak terdorong untuk melakukan perkawinan anak, karena adanya informasi atau pengaruh eksternal.
“Dari sisi anak, ternyata faktornya adalah karena mereka terjebak romantisme perkawinan. Terlu banyak menonton film yang dimana melihat bahwa kawin itu modalnya cukup cinta. Mengapa demikian, ya karena memang masih anak jadi pemahaman mereka terhadap perkwainan masih belum cukup,” kata Allisa.
Lenny menambahkan agar seluruh pihak tidak menganggap isu perkawinan anak selesai hanya karena penetapan regulasi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019.
UU tersebut tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menetapkan usia minimal perkawinan bagi anak perempuan menjadi 19 tahun dan telah disahkan.
Ada tantangan baru yaitu pelibatan agen perubahan di era global saat ini.
“Anak itu adalah peniru ulung. Apapun yang dilakukan oleh orang dewasa, anak itu meniru dengan mudah. Nah, bagaimana agen-agen perubahan di era global dan digital saat ini bisa kita buat lebih produktif dan kreatif dalam keikutsertaannya mencegah perkawinan anak," kata Lenny.
"Jangan sampai ini (perkawinan anak) dianggap bukan masalah oleh orang-orang tersebut. Menghentikan perkawinan anak adalah tanggung jawab semua pihak. Dibutuhkan sinergi bersama, seluruh elemen masyarakat, lembaga, dunia usaha dan media untuk mewujudkannya,” tambah Lenny.
Dalam dialog tersebut, turut menjadi narasumber diantaranya Ketua Komisi Perlindungan Anak (KPAI) Susanto.
Kemudian ada juga Peneliti Media Roy Thaniago, Ketua Forum Anak Nasional (2019-2021) Tristania Faisa, serta jurnalis Sonya Hellen Sinombor sebagai moderator.