TRIBUNNEWS.COM - Diskusi Tribunnews yang bertema '22 Tahun Setelah Reformasi, Mau Apa Lagi?' digelar secara daring, Kamis (21/5/2020) sore.
Diskusi tersebut menghadirkan dua narasumber, yakni Guru Besar sekaligus Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret (FISIP UNS), Prof Dr Ismi Dwi Astuti Nurhaeni dan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah, Sunanto.
Prof Ismi mengatakan, dalam 22 tahun reformasi, korupsi di Indonesia masih belum bisa teratasi dengan baik.
Dia bahkan menyebut, korupsi di Indonesia sudah menggurita di hampir semua sektor dan lembaga.
Prof Ismi menjelaskan, ada empat hambatan yang dihadapi pemerintah Indonesia ketika akan melakukan penanganan terhadap kasus-kasus korupsi.
Baca: 22 Tahun Reformasi, Kerugian Negara akibat Korupsi Capai Rp 8,4 Triliun
Pertama, kata dia, hambatan yang sifatnya struktural.
Dia mengatakan, terlihat sektor-sektor di Indonesia masih memiliki egoisme yang sangat tinggi.
"Bahkan sering terjadi adanya penggelembungan-penggelembungan dana."
"Bukan karena disebabkan kebutuhan organisasi itu sendiri, tetapi lebih disebabkan karena ego sektoral," ungkapnya.
Selain itu, menurut dia, pengawasan-pengawasan internal belum berjalan secara intensif dan koordinasi lintas lembaga juga belum berjalan secara optimal.
Baca: 22 Tahun Reformasi: Das Sollen, Das Sein?
Hambatan kedua adalah hambatan kultural.
Prof Ismi mengatakan, ketika terjadi kasus-kasus korupsi aparat pemerintah sering kali masih menunjukkan sikap toleran.
Bahkan, lanjut dia, ada kecenderungan, pimpinan di organisasi itu menutup-nutupi kejadian adanya korupsi.
"Ini tentu berkaitan dengan kekhawatiran dari pimpinan organisasi itu kalau lembaganya itu nanti kemudian terbuka kasus-kasus korupsi."
Baca: 22 Tahun Reformasi, Indonesia Berada di Titik Persimpangan Orientasi Pembangunan
"Jadi yang terjadi seringkali adalah, yoweslah rapopo, kalau orang Jawa mengatakan begitu. Jadi terjadi pembiaran terhadap kasus korupsi," kata dia.
Selain itu, menurut Prof Ismi, ada yang lebih mengerikan lagi adalah adanya campur tangan eksekutif, legislatif atau yudikatif.
"Sehingga seringkali kasus-kasus korupsi yang kasat mata, itu betul-berul ada korupsi tiba-tiba saja kemudian kasusnya hilang begitu saja," ujarnya.
Kemudian, lanjut dia, komitmen di dalam penanganan korupsi juga masih dipertanyakan serta sikap permisif masyarakat terhadap korupsi.
Ketiga, adalah hambatan instrumental.
Menurut dia, ada peraturan perundang-undangan yang seringkali bersifat tumpang tindih di Indonesia.
Sehingga, penanganan terkait dengan korupsi itu menjadi tidak optimal.
Baca: 22 Tahun Reformasi, Cak Imin: Kita Patut Menghitung Ulang dan Melakukan Evaluasi Total
"Kemudian di Indonesia baru saja diperkenalkan single identification number baik itu untuk kepentingan pembayaran pajak, sim dan sebagainya."
"Kita berharap, instrumen ini akan bisa memperkecil adanya kasus-kasus korupsi," ungkapnya.
Tak hanya itu, Prof Ismi menjelaskan, masih ada kelemahan dalam penegakkan hukum di Indonesia, di antaranya adalah sulitnya pembuktian kasus-kasus korupsi.
"Kenapa? Karena korupsi ini biasanya yang tahu itu hanya pelaku dan Tuhan saja yang tahu."
"Sedangkan masyarakat pada umumnya tidak mengetahui kasus-kasus ini karena sifatnya adalah rahasia," jelas Prof. Ismi.
Keempat, kata dia, adalah hambatan manajemen.
"Kita masih menghadapi adanya pelayanan-pelayanan publik yang belum dilakukan secara adil.
"Belum dilakukan secara transparan dan belum dilakukan secara akuntabel," ungkap dia.
Simak video lengkapnya:
(Tribunnews.com/Nanda Lusiana Saputri)