18 Mei 1998, di luar dugaan, atas permintaan Cak Nun dan empat tokoh ini, Mensekneg Saadillah Mursyid mau dan memberanikan diri untuk menyampaikan usulan serta mekanisme lengser yang telah dirumuskan tadi.
Ternyata Soeharto menyatakan bersedia dan setuju, tetapi meminta ditemani dalam proses turun dari jabatan Presiden. Ini adalah satu tahap krusial yang telah terlampaui dengan baik.
Pada 18 Mei itu, pukul 20.00 WIB, Soeharto menelepon Cak Nun dan Cak Nur.
“Mohon kita ketemu besok untuk menyiapkan agar lengsernya saya tidak menimbulkan guncangan dan korban," tulis ucapan Soeharto dalam artikel itu.
Tanggal 19 Mei pagi hari mereka bertemu di Istana.
Baca: Hari Ini, 22 Tahun Lalu Soeharto Mundur dari Jabatan Presiden Republik Indonesia
Soeharto minta 5 orang ini dilengkapi menjadi 9 orang dari para sesepuh, termasuk KH Ali Yafie dan Gus Dur.
Cak Nun dan Cak Nur diceritakan meneguhkan saran agar Soeharto turun dari jabatan Presiden.
Soeharto tertawa lebar ketika Cak Nun berempati dengan mengemukakan, “Pak Harto tidak jadi Presiden kan “ora pathèken”. Wong sudah 32 tahun menjabat."
Cak Nur menambahkan: “Bukan hanya ora pathèken, tapi sudah tuwuk.” Itu bahasa Jombang untuk “sangat puas sampai hampir bosan”.
Tak Mau Diundang ke Istana
Sementara dikutip dari TribunJakarta.com, Cak Nun pernah membuat pmenyatakan mengejutkan karena enggan ke Istana Negara jika diundang presiden sekalipun.
Budayawan Emha Ainun Najib alis Cak Nun mengaku tak pernah mau dipanggil ke Istana Negara oleh Presiden.
Cak Nun kemudian membeberkan alasannya bertindak demikian.
Hal tersebut disampaikan Cak Nun saat menjadi narasumber di acara Catatan Najwa, memperingati dua tahun kasus Novel Baswedan.