TRIBUNNEWS.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD memberikan penjelasan soal alasan batalnya diskusi pemecatan presiden.
Rupanya, batalnya diskusi pemecatan presiden yang akan digelar di Universitas Gajah Mada disebut karena ada oknum yang belum membaca Term of Reference (TOR) acara.
Hal itu disampaikan oleh Mahfud MD melalui akun Twitter pribadinya @mohmahfudmd pada Minggu (31/5/2020).
"Webinar tentang "Pemberhentian Presiden" yang batal di UGM kemarin sebenarnya mau bilang bahwa presiden tak bisa dijatuhkan hanya karena kebijakan terkait COVID-19.
Tapi ada yang salah paham karena belum baca TOR dan hanya baca judul hingga kisruh," tulis Mahfud melalui akun Twitter-nya @mohmahfudmd.
Ia juga meminta kepada aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kasus teror dan ancaman yang diterima oleh panitia dan narsumber diskusi tersebut.
"Demi demokrasi dan hukum, saya sudah minta Polri agar mengusut peneror panitia dan narasumber.
Saya sarankan juga agar penyelenggara dan calon narasumber melapor agar ada informasi untuk melacak identitas dan jejak peneror, terutama jejak digitalnya," imbuhnya.
Selain itu, Mahfud juga menjawab soal tudingan pemerintah yang melarang diskusi tersebut.
Mahfud menegaskan tidak ada pelarangan dari pemerintah, aparat kepolisian dan pihak UGM terkait diskusi tersebut.
"Saya katakan ke aparat tidak perlu takut itu ilmiah, biarkan diskusi, kalau ada makar maka akan ketahuan disitu," ungkapnya dalam video conference yang dikutip Tribunnews dari Youtube Kompas TV.
Mahfud juga mengatakan, diskusi soal pemecatan presiden itu boleh saja dilakukan oleh pihak manapun.
Lebih lanjut, ia menerangkan pemecatan presiden bisa dilakukan asal memenuhi lima syarat.
Baca: Mahfud MD Tegaskan Pemerintah Tidak Melarang Diskusi Pemecatan Presiden: Biarkan Diskusi, Itu Ilmiah
Baca: Soal Teror Diskusi UGM, Mahfud MD: Setelah Ditelusuri Bukan Dibatalkan oleh UGM atau Polisi
Jadi, menurut Mahfud, tidak perlu untuk dikaitkan dengan persoalan Covid-19 untuk memecat presiden.
Sementara itu, Mahfud membeberkan lima syarat yang bisa memberhentikan presiden.
Di antaranya, melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, dan perbuatan tercela.
Atas alasan tersebut, maka presiden bisa diberhentikan jika terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.
"Sejauh tidak memenuhi lima unsur tersebut, maka presiden tidak bisa diberhentikan di tengah jalan," jelasnya.
Baca: KontraS: Teror Diskusi UGM Tunjukkan Orde Baru Hanya Berubah Rupa
Baca: PP Muhammadiyah Bantah Anggotanya Meneror Diskusi Mahasiswa UGM
Sebelumnya diberitakan, Presiden Constitutional Law Society (CLS) atau Komunitas Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UGM, Aditya Halimawan memutuskan untuk membatalkan acara diskusinya.
Awalnya, acara diskusi yang digelar secara daring tersebut dilakukan pada Jumat (29/5/2020) pukul 14.00 WIB.
Namun, diskusi tersebut terpaksa dibatalkan setelah pihaknya mendapat ancaman.
Alasannya, tema diskusi bertajuk Meluruskan Persoalan Pemeberhentian Presiden Ditinjau dari Siste, Ketatanegaraan itu dianggap politis oleh sejumlah pihak.
"Iya diskusinya kami batalkan, ini kesepakatan dari pembicara dan penyelenggara, karena memang kondisinya semakin tidak kondusif."
"Ya sebelumnya kami mendapat tindakan semacam peretasan dan ancaman juga," kata Aditia, seperti dikutip Tribunnews.com dari Kompas.com.
Aditia menegaskan, tema dan kegiatan yang dilakukan tidak berkaitan dengan aksi makar atau gerakan politis lainnya.
Menurut dia, kegiatan yang dilakukan murni bersifat akademis.
"Seperti klarifikasi yang sudah kami sampaikan, bahwa kami bersifat akademis, tidak berkaitan oleh politik manapun atau agenda politik manapun," pungkasnya.
(Tribunnews.com/Maliana, Kompas.com/Wijaya Kusuma)