Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chaerul Umam
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) Yudi Latif mengatakan semangat gotong royong bangsa Indonesia belum sepenuhnya hancur.
Hal itu terlihat saat banyak orang yang memberikan bantuan dan saling tolong menolong saat pandemi Covid-19 menghantam Indonesia.
Namun, Yudi Latif menyoroti solidaritas dalam kegotongroyongan itu hanya bangkit saat krisis kebencanaan itu hadir di tengah masyarakat.
Padahal, orang tidak bisa terus menerus hidup dalam situasi peliknya kebencanaan.
"Masalahnya solidaritas kita ini, kegotongroyongan kita ini masih sering sebatas solidaritas emosional. Nunggu dulu krisis, menunggu dulu bencana baru solidaritas itu bangkit," kata Yudi dalam diskusi virtual bertajuk 'Aktualisasi Pancasila di Tengah Covid-19', Selasa (2/6/2020).
Karena itu, menurut Yudi Latif, yang dibutuhkan bangsa Indonesia adalah sifat gotong royong dan solidaritas fungsional.
Baca: Si Gagah Kapal Induk Terbaru USS Gerald Ford Jadi Andalan Angkatan Laut AS di Trans Atlantik
Solidaritas fungsional itu adalah solidaritas yang diciptakan setiap hari dan terlembagakan dalam institusi negara.
Hal itu dirasa sangat penting sebab gotong royong tidak hanya sebatas inisiatif pemerintan, namun juga teraktualisasikan dalam proses tata kelola negara.
Baca: Terkuak Setahun Pasca Kejadian, Pembunuh Janda Empat Anak Ini Ternyata Pasangan Suami Istri
"Di situlah tantangan kita ini bagaimana gotong royong itu terjemahkan dalam proses tata kelola negara sehingga gotong royong tidak hanya berhenti pada level-level inisiatif masyarakat tetapi terlembagakan di dalam suatu institusi kenegaraan," ucap Yudi Latif.
Dalam konteks inilah, menurut Yudi Latif mengatakan perlunya memadukan definisi gotong royong yang diberikan oleh Soekarno dan Mohammad Hatta.
Bahwa memahami gotong royong itu tidak hanya dalam tataran filosofis ideologis dari kegotongroyongan itu.
Baca: Cerita Lengkap Kecelakaan Tunggal Wakapolres Purbalingga, Kompol Widodo Ponco Susanto
Tetapi juga harus diaktualisasikan di dalam proses tata kelola negara.
Sebab, kata Yudi Latif, terlalu berisiko jika negara sebesar Indonesia hanya diurus secara sentralistik di Jakarta.
"Negara ini harus diurus dengan gotong-royong yang melibatkan partisipasi-partisipasi lokal daerah di dalam usaha-usaha tata kelola negara," ujarnya.
Namun, Yudi Latif mengatakan di era Reformasi ini, belum ditemukannya titik keseimbangan peran antara pemerintah pusat dan daerah.
Hal itu tercermin dari sering kali timbulnya perdebatan atas kebijakan yang dikeluarkan pusat dalam hal menangani Covid-19.
Atau kebijakan tersebut tidak sejalan dengan keinginan pemerintah daerah.
"Sehingga dalam situasi Covid-19 ini misalnya ada dispute (perdebatan) yang mewarnai yang merupakan letupan dari relasi pusat dan daerah belum sepenuhnya smooth," ucapnya.
"Ini menunjukkam ada semacam kontestasi-kontestasi yang tidak mulus dan itu yang harus kita pikirkan. Itu semua harus diterjemahkan dalam proses tata kelola negara," pungkasnya.