Aan mengatakan eskalasi ketegangan di Laut China Selatan belakangan ini dipicu sikap asertif China dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang cenderung provokatif di sana.
Kegiatan yang dimaksud Aan antara lain Blue Sea Campaign 2020, pelarangan penangkapan ikan di Paracel, serta penetapan dua distrik dan penamaan 80 gugusan pulau karang dan fitur lainnya di Laut China Selatan.
"Ini dipicu dengan sikap asertif China dalam bentuk implementasi kegiatan-kegiatan yang cenderung provokatif di Laut China Selatan yakni Blue Sea Campaign 2020, pelarangan penangkapan ikan di Paracel, penetapan dua distrik dan penamaan 80 gugusan pulau karang dan fitur lainnya di Laut China Selatan," kata Aan.
Baca: Mantan Kepala BAIS Ungkap Dampak Bagi Indonesia Jika Amerika dan China Tempur di Laut China Selatan
Menurut Aan Kondisi tersebut menambah rumit permasalahan batas di Laut Natuna Utara yang masih belum selesai dengan Vietnam.
Aan mengatakan Indonesia dan Vietnam saat ini sedang menyelesaikan persoalan overlapping claim ZEE di Laut Natuna Utara.
Dalam kondisi ini, menurut Aan, seharusnya Indonesia dan Vietnam menahan diri dengan tidak melakukan kegiatan apapun.
Akan tetapi pada kenyataannya, kata Aan, saat ini kapal pemerintah Vietnam yaitu kapal pengawas perikanan dan kapal coast guardnya selalu hadir bersama dengan kapal ikan Vietnam di wilayah tersebut.
Baca: RRC Kerahkan Kapal Induk Terbaru, Amerika Kirim 7 Kapal Selam, Laut China Selatan Memanas
Menurut Aan kemampuan untuk hadir setiap saat tersebut belum mampu diimbangi oleh aparat penegak hukum Indonesia baik oleh TNI AL, KKP dan Bakamla yang memiliki kewenangan berdasarkan wilayah yurisdiksi nasional di ZEEI.
Ia menilai hal tersebut berdampak pada turunnya daya gentar (deterrence effect) penegakan hukum di Laut Natuna Utara sehingga berpotensi meningkatkan Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IUUF) oleh kapal-kapal ikan asing vietnam dan bahkan kapal ikan China.
"Sumber daya perikanan di Laut Natuna Utara berpotensi besar untuk tidak dinikmati oleh Indonesia, selain karena IUUF juga karena tidak dapat hadirnya kapal ikan Indonesia sendiri di wilayah tersebut," kata Aan.
Menurut Aan hal itu disebabkan di antaranya karena kapal ikan Indonesia yang berasal dari Natuna tidak memiliki kapasitas yang mumpuni atau optimal untuk melakukan eksploitasi perikanan di LNU.
Aan mengatakan rata-rata kapal ikan lokal dari Natuna berukuran kecil sekira 5 sampai 10 GT dan menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari masyarakat nelayan setempat.
"Perlu strategi dan insentif untuk mendorong eksploitasi dan kehadiran kapal ikan indonesia di laut natuna. Dan perlu strategi serta tatakelola atau kolaborasi untuk mendorong peningkatan kehadiran simbol dua negara berupa aparat penegak hukum di laut Natuna Utara," kata Aan.
Karenanya sebagai sebuah negara non-blok, maka pendekatan hubungan internasional Indonesia dengan negara-negara dunia lainnya adalah berdasarkan prinsip kemerdekaan dan kesetaraan sehingga pendekatannya selalu mengutamakan konsensus bersama.