News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Negara Terancam Kehilangan PPh Badan Rp 2,6 Triliun, Kebijakan Rokok Murah Layak Dikoreksi

Penulis: Choirul Arifin
Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Seorang buruh pabrik rokok memakai kebaya sedang bekerja di Brak Pengkol PT Djarum, Jumat (20/4/2018).

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Chorul Arifin

 TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA — Peneliti Kebijakan Publik dan Pegiat Antikorupsi, Emerson Yuntho mendesak Kementerian Keuangan mencabut Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Bea Cukai Nomor 37/2017 yang memperbolehkan pabrikan mematok harga transaksi pasar (HTP) atau harga di tingkat konsumen akhir rokok di bawah 85 persen dari harga jual eceran/harga banderol, asalkan dilakukan tidak lebih dari 50 persen wilayah supervisi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Emerson menegaskan, kebijakan ini berpotensi mengurangi penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) badan.

Potensi kehilangan PPh badan diperkirakan terus bertambah dari tahun ke tahun seiring keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai beserta HJE rokok.

Menurut Emerson, berdasarkan simulasi awal yang dilakukan, potensi kehilangan penerimaan negara dari PPh badan industri rokok tahun 2020 mencapai Rp 2,6 triliun.

“Ini sangat ironis di tengah upaya pemerintah meningkatkan penerimaan negara yang sedang membutuhkan banyak biaya,” kata Emerson dalam diskusi virtual Indonesia Budget Center, Jakarta, Kamis (18/6/2020).

Emerson menjelaskan, potensi kehilangan PPh badan diperoleh dari simulasi dasar terhadap riset Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) tahun 2019.

Baca: Sule Ingin Menjual Semua Mobil Mewahnya karena Tak Punya Pekerjaan Tetap: Berat di Bensin dan Pajak

Baca: Bea Cukai Juanda Gagalkan Pengiriman Ratusan Ribu Rokok Ilegal Via Pos

Baca: Hubungan Dua Korea Makin Panas, Menteri Unifikasi Korea Selatan Mundur

Riset ini berdasarkan data sampling 1.327 merek rokok yang dijual di bawah HJE. Hasilnya, negara berpotensi kehilangan PPh badan sebesar Rp 1,73 triliun.

Dengan asumsi tahun ini terjadi kenaikan rata-rata 52,1% HTP dan HJE pada segmen SKM dan SPM(sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 152/2019 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau), potensi kehilangan penerimaan negara tersebut akan naik menjadi Rp 2,6 triliun.

Selain potensi kehilangan PPh badan, keberadaan diskon rokok (rokok murah) akibat klausul dalam Perdirjen Bea Cukai juga mendorong peningkatan tingkat konsumsi rokok terutama oleh anak dan kemiskinan.

Padahal, sampai saat ini publik tidak pernah mengetahui naskah akademik yang menjadi dasar kebijakan tersebut. Oleh karenanya, muncul persepsi publik bahwa kebijakan diskon rokok merupakan bagian kompromi pemerintah dengan industri rokok.

Emerson juga merekomendasikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melakukan kajian, rekomendasi dan pendampingan kepada pemerintah agar menghapus berbagai kebijakan yang berpotensi melahirkan celah kerugian negara.

Baca: Istana Enggan Komentari Rekomendasi KPK Soal Kartu Pra Kerja Bermasalah 

Baca: Ada Pedagang di Pasar Tradisional Positif Covid-19, DPRD DKI Minta Dinkes Gencar Lakukan Swab Test

Baca: Presiden Jokowi Salat Jumat di Masjid Istana Bogor

Direktur Eksekutif INDEF Tauhid Ahmad menegaskan, jika kebijakan diskon rokok tetap dipertahankan, maka potensi penerimaan negara yang berjumlah triliunan rupiah akan hilang. Peredaran rokok yang didiskon menyebabkan penerimaan PPh badan menjadi tidak optimal.

Ahmad Tauhid mendorong agar kebijakan tersebut sebaiknya diatur ulang jika pemerintah ingin meningkatkan penerimaan PPh Badan.

“Kebijakan ini membuat kas negara tidak optimal di saat pemerintah tengah mengejar penerimaan cukai yang lebih besar dari rokok,” katanya.

Tauhid menegaskan, cukai rokok masih menjadi anak emas pendapatan negara bahkan di tengah kondisi krisis dan negara yang membutuhkan dana segar sehingga peninjauan ulang kebijakan diskon rokok akan mengoptimalisasi penerimaan cukai rokok.

Tauhid menambahkan, selama ini pelaku praktik diskon rokok biasanya berasal dari perusahaan-perusahaan yang tingkat persaingannya besar. Jika pemerintah masih terus melegalkan sistem potongan harga ini, potensi kehilangan penerimaan negara akan makin tinggi.

Itulah sebabnya dia menilai bahwa penggolongan kluster usaha pada industri rokok harus menjadi pertimbangan agar usaha kecil dan usaha menengah tidak mati karena harus menghadapi perusahaan besar.

Baca: Sopirnya Pukul Staf Hotel, Anggota DPRD Jabar Minta Maaf, Ungkap Permintaan, Proses Hukum Berlanjut

Baca: Hubungan Dua Korea Makin Panas, Menteri Unifikasi Korea Selatan Mundur

Baca: Video KO Brutal yang Mengerikan Saat Petarung UFC Bikin Lawannya Semaput, Mengerang Kesakitan

“Golongan kecil ini kan jalurnya sempit dan lama-lama bisa rugi ya, kita harus melihat celah ini dalam aturan tersebut,” ujar Tauhid Ahmad.

Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan, Pande Putu Oka Kusumawardani, menyatakan bahwa ketentuan HTP sebesar minimal 85 persen dari HJE pada PMK 152/2019 sesungguhnya tidak bertujuan untuk mendiskon rokok.

“Sebenarnya kita perlu meluruskan bahwa diskon rokok bukan terminologi yang tepat. Pengaturan tersebut adalah refleksi dan pertimbangan bahwa ada rantai proses produsen ke konsumen yang membutuhkan biaya, sehingga pemerintah mengatur harga HTP bisa di bawah HJE,” kata Pande.

Terkait dengan dasar toleransi 50 persen area pengawasan pada Perdirjen BC 37/2017, Pande Putu Oka menyatakan, semua masukan tentunya akan ditinjau apakah mekanisme ini masih berjalan tepat di lapangan atau masih memerlukan penyesuaian.

“Kami akan mempertimbangkan secara serius mengenai masukan atau aspirasi dari semua pihak mengenai kebijakan cukai tembakau, termasuk juga mengenai PMK Nomor 152/2019 maupun Perdirjen 37/2017,” ujar Pande Putu Oka.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini