"Rapid test ini kan bukan untuk menentukan orang kena corona atau tidak, hasil reaktif pun bukan berarti kena corona, bisa kena flu atau yang lain bisa juga reaktif," ungkapnya saat dihubungi Tribunnews, Kamis (26/5/2020).
"Sehingga menurut saya, screening melalui rapid test tidak efektif dan merugikan calon penumpang," ungkapnya.
Sholeh pun menjelaskan sejumlah alasan ia melayangkan gugatan ke MA.
Baca: Selama New Normal, Jumlah Penumpang KA Reguler Terus Meningkat
Menurut Sholeh, rapid test membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
"Uji rapid test hasilnya tidak bisa langsung dibawa oleh calon penumpang. Darah diambil pagi, jam 6 sore hasil baru keluar, waktu yang lama ini tentu merugikan calon penumpang yang hendak pergi mendadak ke luar kota," ungkapnya.
Sholeh menyebut, membutuhkan minimal satu hari calon penumpang baru bisa pergi ke luar kota.
Menurutnya, pekerjaannya sebagai lawyer yang memerlukan mobilitas antarkota menjadi dirugikan.
"Bukankah hal ini sangat merugikan Pemohon dan calon penumpang lainnya," ungkap Sholeh.
Baca: Kereta Bandara Soekarno- Hatta akan Mulai Kembali Beroperasi Pada 1 Juli 2020
Diskriminatif
Selain itu Sholeh juga memandang aturan kewajiban rapid test diskriminatif.
Pasalnya, masyarakat yang ke luar kota dengan menggunakan kendaraan darat seperti truk dan bus tidak diwajibkan rapid test.
"Kenapa orang yang bepergian menggunakan mobil pribadi ke luar kota tidak diwajibkan menunjukkan hasil rapid test, juga sopir-sopir truk luar kota juga tidak diwajibkan rapid test, bukankah mereka juga rentan terpapar virus corona saat bepergian? Bukankah kebijakan ini diskriminatif?" ungkapnya.
"Sama-sama bepergian ke luar kota, kenapa untuk pesawat terbang, kereta api dan kapal laut wajib menunjukkan hasil rapid test, sedangkan calon penumpang bis kok tidak?" lanjutnya.
Selain itu, Sholeh juga menyebut calon penumpang yang memiliki hasil rapid test non reaktif tidak ada jaminan melanjutkan perjalanan jika suhu badan di atas 38 derajat celcius saat dicek.