TRIBUNNEWS.COM - Ratusan jaringan dan organisasi yang tergabung dalam masyarakat sipil mengaku kecewa atas kinerja dari DPR RI.
Hal itu buntut ditariknya Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) dari daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2020.
Perwakilan jaringan masyarakat sipil, Veni Siregar, mengatakan ada ketidakjelasan status RUU PKS di parlemen.
Pihaknya mencatat, sejak Maret 2020, Komisi VIII DPR telah menyerahkan RUU tersebut kepada Badan Legislasi (Baleh) DPR.
Baca: LBH APIK Ungkap Sulitnya Dampingi Korban Kekerasan Seksual Tanpa Payung Hukum: Itu Terobosan RUU PKS
"Kami mendapat informasi sejak Maret 2020 Komisi VIII telah menyerahkan RUU ini kepada Baleg DPR RI."
"Dengan alasan adanya beban penyelesaian agenda RUU yang cukup sulit untuk dipenuhi," tutur Veni dalam keterangan yang diterima Tribunnews, Minggu (5/7/2020).
Namun, pada saat itu Baleg DPR tidak mengambil alih sebagai RUU Prioritas 2020.
Sehingga sampai saat ini, status RUU PKS masih menjadi usulan Komisi VIII.
Baca: RUU PKS Dianggap Mengadopsi Ideologi Barat, LBH APIK: Justru Kita Lihat Situasi Korban di Indonesia
Veni menuturkan, sejak ditetapkan sebagai proglenas prioritas 2020, sampai bulan Juli 2020 ini, belum ada kejelasan siapa yang akan menjadi pengusul RUU PKS.
Hal ini justru menimbulkan kebingungan publik.
Terlebih mengenai posisi kebijakan yang sangat diharapkan untuk melindungi dan memberikan akses keadilan bagi korban kekerasan seksual dan keluarganya.
"Ketidakjelasan status dan tidak transparannya proses di DPR jelas menyulitkan masyarakat dalam mengawal RUU ini."
"Padahal pembahasan RUU sejatinya inklusif dan partisipatif," lanjut Veni.
Baca: LBH APIK Jakarta Beberkan Sederet Alasan Mengapa RUU PKS Harus Benar-benar Disahkan
Adapun, Veni menjelaskan situasi menggantung ini tidak terlalu berbeda dibandingkan tahun 2019.