News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Yusril Ihza: Tidak Mungkin Pilpres Diulang-ulang Jika Hanya Diikuti Dua Paslon

Penulis: Glery Lazuardi
Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Yusril Ihza Mahendra. Sudah Tak Dapat Jatah Menteri, Wamen Pun Tak Dapat Juga: Ini Sikap Legowo Yusril Ihza Mahendra.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara, Yusril Ihza Mahendra, menyoroti terbitnya putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 44 P/HUM/2019.

Menurut dia, putusan uji materil tertanggal 28 Oktober 2019 itu tidak berpengaruh pada keabsahan Joko Widodo-KH Maruf Amin, sebagai pasangan Presiden-Wakil Presiden terpilih 2019-2024.

"Dalam putusan itu, MA hanya menguji secara materil Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2019 apakah secara normatif bertentangan dengan undang-undang di atasnya atau tidak," kata dia, dalam keterangannya, Rabu (8/7/2020).

Dia menilai putusan itu terbit satu minggu setelah Jokowi-Kiyai Ma'ruf dilantik MPR. Putusan MA itu bersifat prospektif atau berlaku ke depan sejak tanggal diputuskan. Putusan MA tidak berlaku retroaktif atau surut ke belakang.

"Putusan itu sama sekali tidak masuk atau menyinggung kasus sudah menang atau belum Jokowi di Pilpres 2019," ujar Yusril.

Baca: Penjelasan Mahkamah Agung Soal Putusan Pemilihan Presiden

Dia menjelaskan, MA tidak berwenang menangani perkara sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden.

Menang atau tidak Jokowi di Pilpres 2019 telah diputus MK karena hal itu menjadi kewenangan. Putusan MK itu final dan mengikat.

"Dalam menetapkan kemenangan Jokowi dan Kiyai Ma'ruf, KPU merujuk pada Putusan MK yang tegas menolak permohonan sengketa yang diajukan Prabowo Subijanto dan Sandiaga Uno," kata Yusril.

Dia menjelaskan, Pasal 3 ayat 7 PKPU Nomor 5 Tahun 2019 mengatur aturan pemilihan presiden yang hanya diikuti dua pasangan calon mengacu kepada Putusan MK No 50/PUU-XII/2017 yang menafsirkan ketentuan Pasal 6A Undang-Undang Dasar 1945 dalam hal Paslon Capres dan Cawapres hanya dua pasangan.

"Dalam keadaan seperti itu, maka yang berlaku adalah suara terbanyak tanpa perlu diulang lagi untuk memenuhi syarat sebaran kemenangan di provinsi-provinsi sebagaimana diatur Pasal 6A itu sendiri," ujarnya.

Dia mengungkapkan putusan MK dalam perkara pengujian undang-undang mempunyai kekuatan yang setara dengan norma undang-undang itu sendiri, meskipun Putusan MK bukan merupakan suatu bentuk peraturan perundang-undangan.

Sedangkan, kata dia, MA memutus perkara pengujian PKPU itu dengan merujuk kepada Pasal 416 Undang-Undang Pemilu yang tidak mengatur hal tersebut, sehingga menyatakan Pasal 3 ayat 7 PKPU itu bertentangan dengan UU Pemilu.

"Masalahnya MA memang tidak dapat menguji apakah PKPU tersebut bertentangan dengan Putusan MK atau tidak. Di sini letak problematika hukumnya," kata dia

Putusan MK itu dilakukan dalam konteks pengujian terhadap norma Pasal 158 UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres, yang isinya sama dengan norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Oleh karena itu, materi pengaturan yang diuji bunyinya sama, mala Putusan MK terhadap pengujian Pasal 158 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 itu mutatis mutandis juga berlaku terhadap norma Pasal 416 UU No 7 Tahun 2007 tentang Pemilu.

Apabila pasangan calon hanya dua dan harus diulang-ulang terus agar memenuhi syarat kemenangan menurut sebaran wilayah, maka Pilpres menjadi tidak jelas kapan akan berakhir.

Sementara masa jabatan presiden yang ada sudah berakhir dan tidak dapat diperpanjang oleh lembaga manapun termasuk MPR. Ini akan berakibat terjadinya kevakuman kekuasaan dan berpotensi menimbulkan chaos di negara ini.

"Karena itu, kalau paslon Pilpres itu hanya dua pasangan, aturan yang benar dilihat dari sudut hukum tata negara adalah Pilpres dilakukan hanya 1 kali putaran dan paslon yang memperoleh suara terbanyak itulah yang menjadi pemenangnya," tambahnya.
 

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini