Namun pemerintah Serbia tetap komitmen kepada kita. Jadi, kendati tidak ada perjanjian ekstradisi dengan Serbia, berkat pendekatan dan lobi-lobi yang kami lakukan, mereka (pemerintah Serbia) sepakat mendukung penegakkan hukum Indonesia.
Apakah Anda melaporkan penjemputan Maria Pauline Lumowa ke Presiden Joko Widodo?
Tidak secara langsung, tapi melalui Menteri Sekretaris Negara (Pratikno). Seminggu sebelum saya berangkat ke Serbia, saya rapat dengan Pak Menkopolhukam (Mahfud MD), Mensesneg, KSP (Moeldoko).
Saya sampaikan, saya akan pergi ke Serbia untuk menjemput buron.
Saya sampaikan kepada Pak Mensesneg surat permohonan izin (menjemput buron ke Serbia) kepada Presiden sudah saya kirimkan.
Mengapa harus saya yang menjemput MPL (Maria Pauline Lumowa)? Ya karena ini memerlukan high level diplomacy (diplomasi tingkat tinggi) hukum dan untuk menunjukan keseriusan kita.
Kemenkumham itu adalah central authority (otoritas sentral) dalam konteks penjemputan ini.
Kemudian saya mendapat telepon dari Pak Mensesneg, beliau mengatakan Presiden setuju saya berangkat ke Serbia.
Apa urgensinya memburu Maria Pauline Lumowa dan membawanya ke Indonesia?
Ini bukan kejadian ujug-ujug. Perburuan terhadap Saudari MPL ini dimulai sejak dia di Singapura pada 2003 lalu. Kami mencoba namun tidak berhasil.
Ia kemudian pergi ke Belanda pada 2005.
Kami sudah bersurat kepada pemerintah Belanda untuk memblokir rekening dan aset MPL. Namun tidak direspon.
Pada 29 April 2019, kami mengajukan permintaan ekstradisi kepada pemerintah Belanda, belum dijawab.
Setahun kemudian, kami kembali meminta ekstradisi, tapi Belanda menolak.
Apa alasaan pemerintah Belanda menolak permintaan ekstradisi?