"Tapi kita harus memastikan bahwa program ini, sebelum dilaksanakan adalah program dengan integritas dan transparansi yang terbaik," jelas Nadiem.
Dalam evaluasi tersebut, ada tiga hal yang akan dilihat.
Menurutnya, yang pertama mengenai integritas dan transparansi dari sistem seleksi POP Kemendikbud.
"Pertama adalah integritas dan transparansi sistem seleksi yang kita lakukan," paparnya.
"Kami tidak hanya melihat secara internal, tapi juga mengundang pihak eksternal untuk melihat proses yang sudah kita lakukan," kata Nadiem.
Alasan PGRI, NU, hingga Muhammadiyah Mundur dari POP Kemendikbud
Program Dinilai Tak Efisien
Melalui surat yang ditandatangani Ketua Umum PB PGRI, Unifah Rosyidi dan Wakil Sekjen, Muhir Subagja menyebutkan bahwa PGRI memutuskan untuk tidak bergabung dalam POP Kemendikbud.
"Dalam perjalanan waktu, dengan mempertimbangkan beberapa hal, menyerap aspirasi dari anggota dan pengurus dari daerah."
"Pengurus Besar PGRI melalui Rapat Koordinasi bersama Pengurus PGRI Provinsi Seluruh Indonesia, Perangkat Kelengkapan Organisasi."
"Badan Penyelenggara Pendidikan dan Satuan Pendidikan PGRI yang dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 23 Juli 2019 memutuskan untuk tidak bergabung dalam Program Organisasi Penggerak Kemendikbud," papar Unifah, Jumat (24/7/2020), seperti yang diberitakan Tribunnews.com sebelumnya.
PGRI menilai waktu pelaksanaan program yang sedikit, sehingga dirasa tidak efisien dalam menjalankan Program Organisasi Penggerak.
"Mengingat waktu pelaksanaan yang sangat singkat, kami berpendapat bahwa program tersebut tidak dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien," kata Unifah.
"Serta menghindari berbagai akibat yang tidak diinginkan di kemudian hari," sambungnya.
Baca: Cak Imin ke Nadiem: Kualat Nanti Kalau Tak Libatkan NU dan Muhammadiyah
Baca: Dikritik Muhammadiyah dan NU, Kemendikbud Ungkap Ada 3 Skema Pembiayaan Program Organisasi Penggerak