Saat itu, Djoko Tjandra menjabat sebagai direktur.
Sementara, Setya Novanto yang kala itu sebagai Bendahara Umum Partai Golkar menjabat sebagai Direktur Utamanya.
Perjanjian kerja sama pun diteken pada 11 Januari 1999 oleh Rudy Ramly, Direktur Bank Bali Firman Sucahya dan Setya Novanto.
Disebutkan bahwa EGP akan menerima fee sebesar setengah dari piutang yang dapat ditagih.
Bank Indonesia dan BPPN akhirnya setuju untuk menggelontorkan uang sebesar Rp 905 miliar.
Namun, Bank Bali hanya kebagian Rp 359 miliar, sedangkan Rp 546 miliar sisanya masuk ke rekening PT EGP.
Kasus Terkuak
Kasus itu kemudian terkuak ketika pakar hukum perbankan, Pradjoto, mengendus adanya korelasi dengan pengumpulan dana untuk memajukan Habibie sebagai presiden.
Kejanggalan tersebut terlihat dari total fee yang diterima EGP.
Tak hanya itu, proses cessie juga tak diketahui BPPN.
Padahal, BDNI saat itu sedang dirawat oleh BPPN.
Cessie tersebut juga tak dilaporkan ke Bapepam dan Bursa Efek Jakarta, meski Bank Bali telah melantai di bursa.
Penagihan kepada BPPN pun ternyata tetap dilakukan Bank Bali, bukan EGP.
Kepala BPPN saat itu, Glenn MS Yusuf, menyadari sejumlah kejanggalan tersebut.