TRIBUNNEWS.COM - Merry Utami, perempuan asal Sukoharjo, Jawa Tengah menjadi terpidana mati.
Ia terseret dalam kasus obat-obatan terlarang di tahun 2001 silam.
Diberitakan Tribunnews.com, Merry merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT.
Baca: KPK Eksekusi Eks Bupati Indramayu ke Lapas Sukamiskin
Merry sering mendapatkan perlakuan kasar dari sang suami.
Bahkan sang suami memaksa Merry untuk bekerja di luar negeri dengan menjadi buruh migran atau TKI.
Kemudian Merry memutuskan untuk bercerai dengan sang suami setelah bekerja selama dua tahun di luar negeri.
Di tahun 2001, Merry memutuskan untuk pergi ke Taiwan yang kedua kalinya.
Kala itu ia menuju Jakarta terlebih dahulu, untuk melakukan sejumlah proses sebelum keberangkatannya menjadi TKI.
Namun saat di Jakarta, ia bertemu dengan seorang warga negara Kanada, bernama Jerry.
Jerry terlihat bersikap baik hinga sangat perhatian dan dekat dengan anak-anak Merry.
Keduanya pun memutuskan untuk berpacaran dan Jerry mengajak Merry berlibur ke Nepal.
Pada bulan Oktober 2001, Jerry terlebih dahulu pulang ke Jakarta karena ada urusan bisnis.
Baca: Selain Video Prank Sampah Berkedok Daging, YouTuber Edo Putra Pernah Buat Konten THR Kosong
Baca: Pria Ohio Bunuh Diri setelah Tembak Mati Istri, 3 Anak serta Anjing Peliharaannya
Sementara Merry diminta untuk menunggu teman Jerry karena akan menitipkan tas.
Sampai di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten Merry justru ditangkap oleh pihak otoritas setempat.
Ia didapati membawa 1,1 kilogram heroin yang berada di dalam tas titipan teman Jerry.
Kemudian dilansir Kompas.com, Merry sempat menghubungi Jerry dan dua teman yang menitipkan tas, Muhammad dan Badru.
Hal tersebut disampaikan oleh Tim kuasa hukum Merry dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Antonius Badar.
Akan tetapi nomor ponsel ketiganya tidak aktif saat dicoba untuk dihubungi.
"Merry sempat menghubungi Jerry dan kedua temannya."
"Tapi ponsel mereka sudah tidak aktif, sejak itu Jerry menghilang," terang Antonius pada 2016 lalu.
Terkait temuan itu, Merry oleh Pengadilan Tingkat Pertama dijatuhi hukuman mati pada 2002 silam.
Merry sempat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung namun ditolak.
Begitu pula dengan Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan pada 2014 juga ditolak oleh Mahkamah Agung.
Baca: Prank YouTuber Bagi Daging Ternyata Isi Sampah Hanya Settingan, Korban Masih Keluarga Sendiri
Baca: KPK Eksekusi Bupati Nonaktif Lampung Utara ke Rutan Bandar Lampung
Disebutkan Merry akan diikutkan dalam eksekusi hukuman mati gelombang tiga pada 2016 lalu.
Ia masuk ke dalam daftar 14 terpidana mati yang akan dieksekusi pada 29 Juli 2016 di Lapas Nusa Kambangan, Cilacap.
Akhirnya dari 14 terpidana mati, hanya ada empat yang benar-benar dieksekusi.
Dalam 10 orang itu, ada nama Merry yang eksekusi matinya ditunda karena masih menunggu kejelasan dari Kejaksaan.
Terkait kasus dan hukuman ini, pihak keluarga justru meyakini Merry hanya dijebak oleh Jerry dan dua temannya.
Dikutip dari Tribunnews.com, Paman Merry, Bambang memberikan tanggapan tersebut.
Saat ditemui di Solo, Jawa Tengah pada 2016 lalu Bambang merasa Merry adalah korban kejahatan dari bandar narkoba.
Bahkan Bambang menceritakan, Merry sempat dijanjikan akan dinikahi oleh Jerry.
"Kami yakin Merry adalah korban kejahatan asal Nigeria itu," jelas Bambang.
Sejumlah Aktivis ikut bersuara dan memberikan perhatian khusus pada kasus yang dialami oleh Merry.
Mulai dari Serikat Perempuan Indonesia atau SERUNI, Komnas Perempuan, hingga Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI).
Baca: Etty Toyib Dikembalikan Kepada Keluarga Setelah Terbebas dari Hukuman Mati di Arab Saudi
Baca: Lolos dari Hukuman Mati, Pekerja Migran asal Majalengka Kembali ke Indonesia
Diberitakan Tribunnews.com, Perwakilan JBMI, Wiwin Warsiyati menuntut Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunda hukuman mati Merry.
Sedangkan SERUNI, meminta agar Jokowi dapat mengabulkan Grasi yang diajukan Merry.
Kini, muncul sebuah petisi yang ingin menyelamatkan Merry dari ketidakadilan.
Dalam petisi itu sejumlah pihak meminta agar Jokowi dapat memberikan Grasi bagi Merry.
Petisi tersebut dibuat oleh LBH Masyarakat, M. Afif Abdul Qoyim pada 23 Juli 2020 lalu.
Hingga Senin (3/8/2020) siang, terdapat 835 orang yang telah menandatangani petisi tersebut.
(Tribunnews.com/Febia Rosada/I Made Ardhiangga/Labib Zamani/Rizal Bomantama, Kompas.com/Kristian Erdianto)