TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mendesak aparat mengusut tuntas penyerangan yang dilakukan oleh kelompok intoleran terhadap sebuah keluarga yang sedang melakukan doa bersama di Solo, Jawa Tengah.
Usman mendesak agar aparat berwenang khususnya Kepolisian Solo untuk melakukan penyelidikan menyeluruh, independen, imparsial, dan transparan dalam memeriksa kasus intimidasi dan penyerangan terhadap kasus tersebut.
“Kami mendesak aparat berwenang, terutama Kepolisian Solo, untuk melakukan penyelidikan secara keseluruhan, independen, imparsial dan transparan untuk memeriksa kasus intimidasi dan serangan terhadap agama minoritas mana pun serta mengadili mereka yang bertanggung jawab sesuai dengan standar internasional tentang peradilan yang adil dan memberikan pemulihan bagi korban," kata Usman dalan keterangannya pada Senin (10/8/2020).
Baca: Pimpinan MPR Minta Aparat Segera Tangkap Kelompok Intoleran di Solo
Usman mengatakan aparat keamanan juga harus menjamin kejadian serupa agar tidak terulang kembali karena hak-hak beragama dan berkeyakinan setiap individu harus dijamin dan dilindungi.
Menurutnya tindakan penegakan hukum dalam menyelesaikan kadus tersebut juga harus mengikuti aturan perundang-undangan yang berlaku dan sejalan dengan prinsip perlindungan HAM.
"Aparat penegak hukum tidak boleh tunduk pada opini maupun kekuatan massa jika itu tidak sesuai dengan prinsip hukum," kata Usman.
Usman mengatakan tindakan penyerangan atas nama kebencian terhadap golongan agama tertentu tidak bisa dibenarkan.
Menurutnya jika ada kelompok tertentu yang melakukan penyerangan terhadap orang lain karena keyakinan mereka, hal itu merupakan bentuk diskriminasi.
"Setiap individu memiliki hak untuk melaksanakan ibadah maupun ritual sesuai kepercayaan mereka masing-masing. Penyerangan tersebut jelas merupakan pelanggaran HAM," kata Usman.
Selain itu, Usman juga meminta Pemerintah untuk mencabut atau mengubah semua ketentuan yang diskriminatif serta membatasi hak atas kebebasan berkeyakinan dan beragama yang melampaui batas yang diizinkan berdasarkan hukum HAM internasional.
"Negara seharusnya memastikan bahwa anggota agama minoritas dilindungi dan dapat mempraktikkan keyakinan mereka secara bebas dari rasa takut, intimidasi, dan serangan," kata Usman.
Amnesty International Indonesia mendapatkan laporan bahwa ratusan orang yang mengatasnamakan Laskar Solo membubarkan sebuah acara Midodareni (doa bersama sebelum pernikahan) yang sedang dilangsungkan di kediaman keluarga Umar Assegaf, di Mertodranan, Pasar Kliwon, Surakarta, pada 8 Agustus 2020 malam.
Menurut laporan tersebut massa yang menyerang menduga bahwa keluarga tersebut adalah penganut aliran Syiah dan menganggap bahwa Midodareni merupakan ritual Syiah.
Berdasarkan rekaman video yang diterima Amnesty, massa tersebut terdengar melontarkan kalimat diskriminasi dan tuduhan bahwa keluarga tersebut adalah penganut aliran Syiah.
Selain itu dalam rekaman video lainnya yang diterima Amnesty, salah satu anggota keluarga yang menjadi korban menjelaskan bahwa setidaknya ada tiga orang yang mengalami luka fisik yang cukup serius akibat tindakan penganiayaan.
Baca: Menag Kecam Tindakan Kekerasan dan Intoleransi di Solo: Intensifkan Dialog Tokoh Agama dan Aparat
Selain itu, ia juga mengatakan bahwa tindak kekerasan yang menimpa mereka bukan hanya terjadi kali itu.
Sebelumnya, mereka telah beberapa kali menerima ancaman hanya karena mereka meyakini sesuatu yang berbeda akidah dan mahzab.
Pria dalam video tersebut meminta Presiden Republik Indonesia beserta aparat untuk melindungi keluarga mereka dari tindakan-tindakan diskriminasi dan intoleransi.
Berdasarkan catatan Amnesty International Indonesia hak seluruh individu untuk memeluk agama dan beribadah sesuai keyakinannya masing-masing telah dijamin dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.
Pada pokoknya aturan tersebut menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan beragama.
Hak tersebut mencakup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, baik di tempat umum atau tertutup, untuk menjalankan agama dan kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, pentaatan, pengamalan, dan pengajaran.
Menurut aturan tersrbut juga tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasannya untuk menganut atau menetapkan agama atau kepercayaannya sesuai dengan pilihannya.
Sedangkan dalam kerangka hukum nasional, hak serupa juga telah dilindungi dalam Konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28E ayat (1) dan (2), Pasal 28I ayat (1), dan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945.
Jaminan kemerdekaan untuk memeluk dan beribadah sesuai kepercayaan juga dilindungi dalam Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.